Tentang Sepasang Kekasih yang Meregang Cemas

April 15, 2018

Sebuah cerpen

Ilustrasi: www.pexels.com

Gelas-gelas itu terparkir rapi di depanmu. Persis saat di suatu malam yang sama sekali tak diidamkan manusia, kita memadu kasih di bawah rembulan. Di kota tua yang sering kau sebut dalam janji-janji kita nanti. Kelak, selepas kita menikah dan mengikat janji untuk hidup semati berdua saja.

Jari-jarimu sungguh manis sekali. Aku melihatnya perlahan ketika kau tak menyadarinya. Caramu tersenyum. Behel yang melekat di gigimu yang selalu terlihat anggun. Atau, kemilau matamu yang bukan hanya mampu menyinari hari-hari gelapku, tapi juga mencerahkan dunia yang kacau ini.

“Bagaimana jika tanggal 10 nanti?” katamu membuka percakapan dan membuatku tersentak.

Aku diam dalam lamunan panjang. Sementara matamu menerkamku, dan kafe tempat kita mengobrol tengah memainkan lagu Float yang judulnya Untuk Sementara. Lagunya asyik sekali untuk sekadar berlari jauh dari pertanyaanmu.

Sayup-sayup musik di sekitar kita kalah dengan ketukan jarimu yang memukuli meja. Bukan, bukan sebuah ketukan yang keras kukira. Tapi aku mengerti itu adalah kombinasi kode sekaligus sandi khawatir seorang perempuan yang mengharap komitmen keras dari pemuda yang beranjak dewasa, yang di kolom KTP-nya tertera bekerja sebagai wartawan.

Aku memesan anggur merah. Sebuah minuman yang sebenarnya baru kali ini kupesan, Sebab, aku tak ingin terlihat miskin di depanmu. Tentu saja aku bisa membelinya. Toh, pekerjaan yang kutekuni tak buruk-buruk amat perihal gaji. Meski, kenyataannya tak semua orang yang bekerja seperti diriku dapat menikmati bayaran yang besar.

“Atau, baiknya kita majukan saja tanggal 1?”

Kau mengulang pertanyaan itu padaku. Aku masih terdiam tak berkutik sembari berpura-pura tuli, dan memilih sibuk mengaduk es teh di depanku. Aku tak jadi memesan anggur. Sebab, ternyata kebetulan sekali uang di dompetku tak cukup untuk membayar. Tolong, sampai di sini jangan menertawaiku, atau, kau akan melihat seorang pemarah melakukan pekerjaannya dengan baik malam ini.

Sebuah bongkahan es memacu perhatianku lebih serius. Aku tak menyangka, di antara serpihan es yang telah dipukul sedemikian rupa oleh pemilik warung, ternyata ada juga es yang kokoh, yang kuat, yang sama sekali tak koyak bahkan ketika aku berkali-kali memukulinya dengan sendok. Tapi, kali ini kau menatapku lagi. Lebih serius. Dan, kupikir inilah saatnya aku memberi kesimpulan berharga atas pertanyaanmu.

Sebelum itu, aku ingin menceritakanmu panjang lebar soal kenapa aku memilihmu. Perihal bagaimana aku sangat tertarik untuk kemudian menikahimu. Ceritaku ini mungkin akan berjalan dengan lama. Jadi, kumohon, dengarlah dengan seksama.

Tetapi kau diam saja. Hanya jari-jarimu yang kembali mengetuk-ngetuk meja di depan kita.

** 
Saat bertugas dulu di kampus, sebagai wartawan dan aktivis yang mendamba kemerdekaan berpikir, aku kerap dihadapkan dengan hal-hal di luar dugaan. Misalnya pada suatu pagi di mana kulihat rektor kita tercinta sibuk menyalami tamu kehormatan kampus. Bukan, tamu tersebut bukan dari mahasiswa. Sangat tidak mungkin jika itu mahasiswa, sebab dari pakaiannya saja ia berdasi, memakai jas hitam, dan sepatu hitam mengkilap. Khas orang kantoran.

Usut punya usut tamu itu ialah seorang politisi yang akan mencalonkan dirinya sebagai gubernur. Dan, di kampus kita tercinta, dengan dalih mengisi kuliah umum, tamu itu malah melakukan kerjasama tersembunyi dengan rektor kita. Kerjasama agar ia terpilih, dan sebagai janjinya jika terpilih nanti, kampus kita akan dibangun gedung perpustakaan yang tinggi.

Sementara, di luar gedung beberapa mahasiswa menggerutu sembari mengutuki tingkah itu. Beberapa orang kulihat memakai jas kebanggaan mereka. Dari kuning, merah, biru, hijau, hingga cokelat. Sembari memekikan tuntutan agar kampus kita terbebas dari politik praktis.

Aku melihatmu berjalan pelan di depan mereka dengan menggendong kamera. Saat itulah, entah mengapa, mataku tak pernah bisa lepas menatapmu. Dan, dari situlah kemudian kukerahkan daya upayaku sebagai seorang wartawan agar dapat mencuri nomor ponselmu. Kau tak perlu tahu, aku mendapati kontakmu darimana, yang jelas, semenjak itu aku kian dekat padamu.

Kita semakin dekat. Hingga, setelah perayaan kelulusan kita, aku beranikan untuk mendatangi rumahmu. Berbicara pada ayahmu bahwa aku serius padamu.

Kau terlihat makin tak peduli. Bibirmu serupa huruf U terbalik. Artinya, mungkin ceritaku tak begitu berharga untuk kau dengar. Atau, kau kian mengerti bahwa aku hanya menghabiskan waktu agar kau tak fokus dengan pertanyaanmu.

*** 
“Baiklah, bagaimana jika sehari setelah hari ulang tahunmu?” kataku menawarimu. Semata agar kau tak bosan dengan ceritaku yang semakin tak terlihat penting.
“Lama sekali. Kenapa tak dipercepat saja?”
“Bukan begitu. Aku pikir aku harus berpikir realistis tentang persiapan kita.”
“Tapi, bukankah lebih cepat lebih baik? Lalu kita segera bisa bekerja sama dalam menghadapi setiap masalah?”
“Iya aku paham. Tapi, aku sungguh tak ingin merepotkanmu lebih jauh”
“Repot apa? Aku tak mengerti.”
“Begini,” aku segera melanjutkan cerita ini dengan satu tarikan nafas panjang, “Sebagai seorang lelaki yang kelak menjadi suamimu, aku berkewajiban memastikan masa depan kita semua aman dan terrencana. Aku ingin menyiapkan segalanya, sehingga ketika kita benar-benar serius membina asmara, kita cukup siap dengan kondisi apapun.”

Kau diam seribu bahasa. Mungkin kau tak puas dengan jawabanku. Atau, kau sama sekali tak peduli dengan argumentasiku, dan berharap agar kesimpulanku selalu seperti yang kau idamkan.

**** 

Dan kita mungkin akan segera berpisah dalam waktu dekat ini. Aku mendapat tugas liputan ke luar kota, tetapi aku takut mengabarkannya padamu. Aku takut kau tak bisa menerima keputusanku mengambil pekerjaan itu. Namun, asal kau tahu, dari lubuk hatiku yang terdalam, aku tak ingin menerima tugas ini. Mungkin jika bukan karena di pernikahan kita nanti butuh biaya banyak, rasanya tak mungkin pekerjaan ini kuambil.

Tapi semenjak setelah pertemuan di malam itu, keadaanmu tak terlihat baik-baik saja. Kau sangat terlihat menghindariku. Dan, entah bagaimana caranya tapi aku harus memberi tahu kabar ini padamu.

“Mungkin memang benar, kita harus jeda dulu untuk memikirkan tanggal pernikahan.” Katamu mengawali percakapan, ketika kita memutuskan bertemu kembali di sebuah kafe yang sama.
“Kenapa begitu?”
“Minggu depan aku harus berangkat ke Singapura. Aku diterima S2 di sana,” katamu.

Kali ini giliranku diam seketika. Aku mengaduk kembali bongkahan es teh yang kupesan seperti malam yang pernah kita lalui dulu. Aku bingung dan campur aduk. Aku tak mengerti harus bilang apa. Tapi kukira, menunggumu pulang dari Singapura itu jauh lebih lama. Bisa saja dua atau tiga tahun lagi. Itupun jika kau bisa menjaga hatimu.

Kau juga diam saja. Bahkan kali ini kau tak menatap mataku seperti dulu. Kau hanya sibuk mengetuk dinding meja, sembari memainkan lipatan kerudung merahmu. Dan , pada suatu malam yang kubilang sejak awal, tak ada orang yang mau mendamba itu, kita terpasung dalam lamunan panjang. Bedanya, saat ini kita ditemani lagu yang membuat kita sama-sama khawatir. Marry Your Daughter dari Brian McKnight. (*)

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images