Lama
tidak menulis membuat jemari merasa canggung. Akasara yang seharusnya setiap
saat bisa terukir, tampak lenyap begitu saja. Tak berbekas seperti sejarah yang
pudar dan tak berbentuk. Sehingga rangkaian peristiwa yang telah terlewati
tampak semu dan cenderung lenyap. Sungguh sangat buruk bagi perjalanan karir
saya dalam menulis. Padahal, sejak dari liburan lalu, tak sedikitpun minggu
terlewati tanpa menulis.
Bukan
tanpa alasan, minggu ini tugas terasa sangat berat seperti beton-beton yang
menghiasi pembangunan gedung baru di kampus UINSA Surabaya. Tak pernah saya
duga, kuliah akan seperti ini. Bahkan tampak kontras sekali dengan apa yang
terjadi di dunia FTV, di mana lebih banyak dilakukan dengan pacaran, atau nonton
film. Tugas pertama yang menghadang adalah mata kuliah History of English
Western Civilization. Mata kuliah ini mengharuskan saya untuk paham betul
mengenai sejarah peradaban bangsa barat. Namun tepat di hari yang seharusnya
saya presentasi di hadapan teman-teman, tiba-tiba masalah muncul. Slide dalam
presentasi ternyata tidak sebagaimana mestinya. Saya yang berkelompok dengan
Ahmad Jhaelani dan Ahmad Jibril Mubarroq, bingung bukan kepalang. Akhirnya,
kami putuskan untuk meminta izin kepada dosen untuk menunda presentasi itu.
Masalah belum sepenuhnya klir. Kami dihadapkan dengan teman-teman yang “kecewa”
dengan sikap kami yang terkesan—maaf—pengecut. Sebab, kami tidak memberitahukan
masalah itu, sejelas mungkin, kepada teman-teman. Akhirnya saya menyampaikan
permintaan maaf yang mendalam kepada teman-teman, dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi. Alhamdulillah mereka sudi memaafkan, meski dengan beberapa
catatan.
Di
minggu pertama (05/04), berita bahagia muncul. Ini bukan soal saya yang sedang
jatuh cinta atau perasaan saya yang tengah berbunga-bunga karena mendapatkan
pulsa nyasar. Lebih dari itu, tulisan saya yang berjudul, “Ironi, Manfaat
dan Kebahagiaan Hukum” dimuat oleh salah satu media massa yang terkemuka di
daerah saya, Bojonegoro. Tulisan yang saya pikir tak akan pernah muncul itu
tiba-tiba dimuat setelah dua minggu sebelumnya saya kirimkan. Sungguh bahagia
tak terkira. Meskipun banyak pihak yang menilai, itu bukanlah apa-apa. Namun
saya yakin, “A hero comes from zero”. Setidaknya ada karya yang bisa
saya hasilkan.
Minggu
berikutnya tak kalah menggembirakan, yakni saya kembali dekat dengan seseorang
yang saya kagumi sejak pertama kami kenal. Ia berkuliah di Jawa Timur juga.
Bedanya, dia di kota seberang sedangkan saya berada di kota pahlawan. Sebagai
orang yang bukan berasal dari suku Jawa, ia sangat menyenangkan. Keceriannya
yang selalu terpancar saat kami berkomunikasi membuat saya ingin berlama-lama
menatap layar ponsel ini. Apalagi, ditambah dengan perhatian yang bertubi-tubi
membuat saya tak sedetik pun ingin melewatkannya. Kami sering bertukar cerpen,
dulu saat kami pertama kenal. Namun sekarang, karena kesibukan masing-masing
kebiasaan itu kami urungkan. Dan kami lebih sering bertegur sapa dengan
kata-kata biasa. Bukan seperti dulu, yang lebih spesial karena berbentuk
cerpen. Namun saya berjanji, akan bertukar cerpen lagi ketika waktu itu datang.
Satu lagi, kami juga tengah dalam kesepakatan, one day we will meet in Eifel
Tower, Paris France. Semoga benar-benar terrealisasi. Aamiin.
Tampaknya
jemari terasa semakin pegal karena jarang digunakan menulis. Diksi yang
harusnya mengalir lincah, tampak semrawut dan tak beraturan. Bahkan sampai di
paragraf ke lima ini, saya masih sangat canggung dalam mengurai kata. Akhirnya
tak ada cara lain selain mengakhiri tulisan ini. Meski amat disayangkan karena
kurang dari ekspektasi saya, menulis 800 kata. Namun setidaknya, saya telah
membuat jemari kembali bergoyang. Meski tampak kaku karena kurang pemanasan. Di
bagian yang paling akhir dari tulisan ini, izinkan saya mengutip kalimat yang
disampaiak oleh Pramoedya Ananta Toer, “Manusia boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari
masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Surabaya,
15 April 2015