Tentang Kematian Cicak dan Perempuan Itu

April 28, 2018


Oleh: Ahmad Farid

Cerpen ini memperoleh penghargaan Juara II dalam Lomba Cerpen Kartini IMM se- Surabaya oleh IMM Komisariat Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Catatan lain, menurut panitia cerpen ini berhasil bertengger di urutan 2 dari 27 cerpen yang diseleksi.
__________________________________________________

www.pexels.com

Langit Kota S masih terlihat cerah ketika dua bocah SD perlahan mendekatiku dan merengek minta dibelikan eskrim. Mereka yang serempak mengenakan seragam putih merah itu kelak kukenali namanya masing-masing Riko dan Agus. Mereka bukanlah saudara, tetapi menurut pengakuan mereka, sehari-hari selalu bersama.

Sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan rengekan apapun. Bahkan terhadap siapapun. Toh, meskipun aku bersikap atau tidak, aku tetap bisa hidup dan menikmati hari-hariku sebagai pemilik cafe; tak pernah kekurangan uang dan pelanggan. Tetapi, entah mengapa, pada saat seorang perempuan berjilbab agak lebar—sesuatu yang kupikir dulu agak terdengar menakutkan—mendekati anak-anak tersebut dan seketika melarang mereka untuk berbuat jahil dengan “memalak” orang-orang yang lewat untuk membelikan eskrim, aku jadi simpati dan sesegera mungkin menghentikan langkah kakiku. Aku melihat mereka menurut. Dan, dari pandangan teduh Anisa—begitu kemudian aku tahu namanya—aku memahami bahwa kedua anak tadi ialah dua dari puluhan anak yang mendiami Panti Asuhan Al-Ikhlas.

Aku terdiam agak lama dan mengamati wajahnya. Cantik. Tapi sesungguhnya bukan hanya itu yang menarik perhatianku. 

**

Njenengan mau kopi, Pak?,” kata Anisa membuka percakapan, sesaat yang di kesempatan yang sama, tiba-tiba aku tersadar telah duduk di ruang tamu.
“Oh iya mbak, boleh,” kataku menjawab seadanya.

Ketika Anisa mulai masuk ke ruang dapur, aku sepintas melihat kondisi panti asuhan. Dinding yang lapuk, lantai yang retak-retak, dan beberapa kaca jendela yang pecah barangkali memang telah menjadi identitas resmi setiap panti asuhan di dunia ini. Aku tak mengerti kenapa keadaan seperti ini tak bisa juga diurusi oleh pemerintah. Padahal, di sinilah tempat anak-anak dan pemuda yang kurang beruntung mengadukan nasibnya. Dan, di sini pula para perempuan yang hatinya jernih bagai permata melakukan tugas-tugas berat yang kukira jarang dilakukan laki-laki; mengurusi, mendidik, dan memastikan masa depan anak-anak kurang beruntung itu bisa teratasi dengan baik.

Sementara aku mengamati ruangan dan pernak-perniknya itu, tiba-tiba sebuah foto usang yang terletak di bingkai kecokelatan di dalam lemari memaksaku menyeksamainya lebih detail. Sosok perempuan berkonde. Memiliki senyum yang ramah dan menawan. Tampak sorot matanya mencerminkan perjuangan yang tak mudah, yang kupikir tanpanya kini para perempuan tak akan menikmati kemerdekaannya secara utuh.

“Itu sosok yang menginspirasi kami, Pak,” Suara Anisa memecah kesunyian yang terang saja membuatku gelagapan karena tak siap dengan kejutan macam itu.
“Ee..e..eh, iya mbak. Maaf kalau saya lancang,” kataku sembari membetulkan letak kacamata yang sebenarnya baik-baik saja.
“Tak apa, Pak. Hehe. Kalau boleh jujur, memang karena dia lah kami, para perempuan, masih tetap di sini dan bertahan dalam perjuangan mendidik anak-anak.”
“Oh begitu, kalau boleh tahu, apa alasan mbak dan teman-teman masih mau mengurusi anak-anak itu. Bukankah itu pekerjaan yang berat?”

“Kalau dikatakan berat, memang berat pak. Tapi saya yakin, justru ini adalah ladang amal dan jihad buat kami untuk turut memajukan bangsa. Saya ingat dulu bagaimana R.A. Kartini turut memperjuangkan nasib orang-orang, terutama perempuan. Saya tidak habis pikir betapa beratnya berjuang di zaman itu, dan mungkin jika saja ia tidak menerbitkan surat-suratnya yang fenomenal itu, kita tidak akan bisa seperti ini sekarang. Atas dasar itu kini saya dan teman-teman lain merasa perlu membina panti ini.” Katanya.

Anisa terus menceritakan hal-hal yang berhubungan dengan panti. Sementara, aku terdiam dan takjub dengan cara-cara yang ia lakukan. Kadang, aku merasa malu sekali, sebab dengan kesempatan yang seperti ini, dengan karir yang sangat bisa untuk membantu sesama, aku justru tak berdaya dan memilih apatis terhadap persoalan sosial. Dan, entah mengapa aku semakin tertarik dengan cara Anisa ketika menceritakan.

Seekor cicak tiba-tiba melipir ke dalam gelas kopiku. Ia nyemplung saja dalam cairan hitam lekat itu, dan tentu saja membuatku marah sekaligus malu minta ampun. Jika mereka-ulang dengan saksama, barangkali adegannya mirip seorang atlet renang professional yang berjuang demi kehormatan bangsa, yang kerap diiringi gemuruh tepuk tangan penonton. Bedanya, cicak itu mati dan mengambang dalam lautan hitam. Dan, dari kepalanya yang muncul-tenggelam, sungguh, aku ingin mengutukinya setengah mati. 

Pukul setengah lima sore. Dengan sisa kopi yang belum tandas akibat ulah cicak sialan yang mati bunuh diri, aku memberanikan pulang. Aku sadar dan ingat bahwa sore ini ada banyak agenda yang harus kulakukan bersama anak buahku. Dan, seperti adegan yang terlampau biasa di setiap film dan sinetron, aku pamit pada Anisa. Aku buru-buru mendatangi mobilku yang terpakir tak jauh dari panti asuhan. Aku meluncur pulang.

**

Hari Rabu. Barangkali dari sekian waktu yang terus melaju, aku akan mengingatnya sebagai permulaan istimewa. Ia bukan hanya menjadi penanda titik balikku hidup di dunia ini, tapi juga menjelma sebagai alarm bahwa aku harus peduli dengan sekitar.

Panti Asuhan Al-Ikhlas dikabarkan akan kena gusur dari pemerintah. Sebabnya panti yang sebenarnya telah berusia puluhan tahun itu menunggak pembayaran sewa tanah. Dan, yang paling membuatku kesal ialah, kenapa orang-orang di sana sama sekali tak memikirkan dampak dari penggusuran itu? Mengapa rasa empati di hati mereka pupus oleh sehelai peraturan di atas kertas?

Aku melangkah sambil lalu dari mobilku. Kulihat beberapa bagian dari bangunan panti telah hancur oleh alat berat sialan itu. Beberapa anak terlihat murung dan sesenggukan di pojokan jalan, di dekat tiang listrik di mana dulu aku bertemu Riko dan Agus. Dan tentu saja ada juga wajah teduh Anisa di sana yang kerepotan menenangkan situasi.

Aku kadang kasihan sekaligus tak tahu harus berbuat apa. Tapi, mengingat percakapanku dengan Anisa waktu itu, tentang alasan ia dan beberapa temannya terus berjuang merawat anak-anak di panti, aku tersadar dan seketika air mata menetes dari kelopak mataku. Sungguh, kawan, jika saja waktu itu kau melihatku, barangkali kau akan melihat diriku serupa anak kecil lima tahun yang merengek kepada orangtuanya untuk dibelikan mainan.

**

Hari Rabu menjelang malam. Alat-alat berat yang sampai mati akan terus kukutuk keberadaanya itu telah berhasil meluluh lantakan semuanya. Kenangan yang membekas, lantai yang retak, dinding rapuh yang selalu ramai oleh sisa coretan gambar anak-anak, dan kaca-kaca jendela yang pecah telah resmi rata dengan tanah. Tangisan yang menggebu semakin tak ada artinya. Dan justru dengan keadaan langit yang semakin gelap, Anisa bisa menenangkan anak-anak. Ia dan beberapa perempuan lainnya mengajak mereka untuk beranjak ke masjid. Selepas shalat berjamaah dan mengaji bersama, 

Anisa dan beberapa orang “menggiring” mereka menikmati cerita Si Kancil. Di sana, ia, Anisa, bukan hanya telah menjadi sosok Kartini di era yang kondisi moralitas dan nurani benar-benar hancur, tetapi juga telah berhasil membuatku terkesima. Ah, andai semua orang bisa memiliki hati selembut itu.

** 

Angin berembus mesra di sela-sela rambutku. Dadaku masih gemetar melihat kejadian waktu itu. Selama di cafe, kadang aku cuma bisa bengong memelototi nasib yang dialami anak-anak dan Anisa. Bagaimana mereka sekarang? Apa yang mereka perbuat saat ini? Bisakah mereka bertahan? Ah, andai saja aku bisa berbuat sesuatu.

Sementara aku diam di kantorku, Anton, pegawaiku yang telah berpuluh-puluh tahun setia padaku, mendatangiku. Katanya ada beberapa anak kecil yang tengah ramai berbaris di depan cafe. Menurutnya pula, seorang wanita menemani anak-anak itu untuk bertemu denganku.
Tentu saja aku bergegas menemui mereka. Aku tak bisa begitu saja berlalu sembari tak peduli, sedangkan kenangan perihal mereka begitu melekat di hati. Ketika aku mendatangi mereka, anak-anak terlihat gembira. Sementara aku, airmataku terjatuh pelan-pelan. Mungkin jika mereka tak menyadarkanku, aku akan tekun membiarkan airmataku jatuh.

“Om, apa kabar?,” kata Riko padaku, yang pada waktu itu hanya bisa kubalas dengan senyum dan mengusap-usap kepala bocah itu.

“Om jangan nangis. Harus kuat. Kata Kak Nisa, kita harus kuat menghadapi cobaan apapun,” katanya melanjutkan, yang di saat yang sama aku bergetar hebat. Betapa perempuan itu tak hanya telah berhasil menjadi guru yang baik, tetapi telah sukses mengajarkan arti berjuang dalam menghadapi kedzaliman.

“Ini eskrim om, kebetulan aku bawa dua, hehe,” sambung Agus yang terang saja membuat jantungku berhenti sesaat. Aku diam kata. Cukup lama. Dan kupandangi lekat-lekat wajah Anisa. Sungguh, aku bertekad harus melakukan sesuatu.

** 

Pelangi di mataku perlahan semakin terang. Badai yang dulu sempat lama hinggap, kini berlalu menjadi suasana gembira. Bahkan, yang membahagiakan, café-ku juga ikutan ramai akibat banyaknya anak-anak. Serta, tentu saja, semenjak Anisa berkenan menjadi istriku, semua hal dapat kami lakukan bersama.

Satu lahan kosong di sebelah cafe telah menjadi rumah resmi bagi anak-anak dan seluruh penghuni panti. Di sana banyak kegiatan yang membuatku semakin dekat dan bersemangat untuk membantu sesama. Sungguh, andai saja waktu itu mobilku tak mogok, dan aku tak mampir sejenak di panti asuhan, kukira aku tak akan bisa seperti ini.

“Mas mau kopi?,” kata Anisa membuyarkan lamunanku di halaman cafe.
“Boleh,” kataku menjawab sekenanya.

Anisa pun datang dengan segelas kopi terbaiknya. Lalu kami berbincang sembari sesekali mengingat pertemuan singkat kami dulu. Dan, tiba-tiba seekor cicak dengan wajah tanpa dosa melipir menuju kopi yang terhidang di meja. Belum sempat kucegah, cicak itu keburu menyesap kopi dan nyemplung begitu saja. Ia mati, dan entah dengan kekuatan macam apa, tiba-tiba aku ingin tertawa sekaligus menangis. Aih, kenangan itu. (*)

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images