Nasib Sebuah Celana

Februari 18, 2016



 
sumber: google.com
Bisa dibilang, hari ini menjadi hari yang bersejarah buatku. Ini bukan aku yang masih dalam keadaan, mohon maaf, “kelaparan” karena uang habis sebelum akhir bulan. Ini adalah hal yang lebih parah dari itu. Celanaku sobek. Okey, aku tahu rasanya ini terkesan lebay, alay, berlebihan, controversial atau apalah-apalah yang semacamnya.

Hal ini bermula saat aku mulai berniat mencari rumah baru buat Solidaritas. Alias dalam istilah kerennya basecamp. Aku terburu-buru sekali saat habis mandi. Jam menunjukan pukul 9 pagi, sedangkan temanku sedang menungguku di kampus. Sedangkan perjanjian untuk bertemu sudah dari jam 8 lalu. Ketika aku mulai memakai celana itu tiba-tiba, “…kreekk!!”. Ada bekas menganga di kisaran lutut. Besar sekali. bahkan sampai membuat kepala kucing bisa masuk di dalamnya.
***

            Seketika itu ingatanku beranjak mengenai proses mendapatkan celana ini. Waktu itu bulan Ramadhan. Bulan di mana sangat kurang afdhal jika dilewati tanpa pakaian baru. Bahkan budaya ini begitu melekat di kampungku, sehingga tak hanya pakian baru, namun berujung pada kendaraan yang baru juga. Jadi tak heran jika ketika musim lebaran berlangsung, banyak sekali iring-iringan kendaraan besar. Oke cukup. Kembali ke celana.
           
Aku ingat sekali ketika ibu memilihkan celana itu di stand pasar Sumberrejo—pasar satu-satunya di kecamatanku. Celana yang modis sekali. warnanya hitam, cenderung berbentuk pensil tapi bukan jenis pensil. Pedagangnya bilang ini adalah celana semi jeans, yang artinya bahan yang terbuat kesemuanya bukan dari bahan jeans, alias campuran. Aku tidak tahu bahan apa itu, tapi rasanya memang nyaman sekali. Kainnya lembut. Warnanya juga tidak pudar ketika sudah hampir 2 tahun aku memakainya.

            Ketika membeli itu, ibuku senang sekali. Mungkin itu adalah sebuah perasaan “keberhasilan” karena telah merubah wajah anaknya menjadi ceria. Dan juga mungkin saja, karena ibu merasa lega. Sebab, perlu diketahui juga, setiap musim Ramadhan berlangsung, pasar tak ubahnya prosesi towaf di Makkah sana. Banyak sekali. Hingga kadang untuk membeli salah satu keperluan saja—sebut saja membeli cabe—musti antre dua ratus meter. Oke itu terkesan alay. Yang benar adalah antre satu meter saja, tapi harus menunggu berpuluh-puluh menit. Sebab, banyak sekali orang yang begitu kekeuh dengan harga tawarannya. Misalnya, ada sekelompok ibu-ibu yang menawar harga terong seharga 900 rupiah. Padahal penjualnya menjual dengan harga 1000 rupiah saja.

            Perjuangan mendapatkannya itu lah yang membuat celana ini begitu istimewa. Banyak sekali kenangan yang terrajut di sini. Celana ini pernah membawaku bertemu duta Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik. Pernah juga celana ini membimbing aku untuk bertemu dengan sang pujaan hati tercinta. Jadi rasanya memang berat sekali ketika menyaksikan sendiri, celana ini sobek. Oleh kaki sendiri pula.
*** 

            Terkadang, kejadian seperti inilah yang membuatku berpikir untuk lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Sebab, tanpa disadari, sebuah tindakan yang salah membuat kenangan kembali terurai dan menyeruak. Ada sisi di mana, kenangan itu harusnya tidak mencuat lagi, sebab yah, terlalu jenaka. Itu saja. Terlebih lagi jika kenangan itu kembali terbentuk oleh gumpalan tingkah konyol. Rasanya, kaya bendera LGBT, berwarna-warni. Dan itu kadang yang membuat aku gagal move on. (*)

You Might Also Like

2 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images