Memasang Kacamata dengan Lebar

Juni 19, 2019


Pexels.com

Ada beragam perangai ketakutan yang kerap mengekor manusia. Dan seandainya boleh merujuk, mungkin salah satunya adalah ketakutan-ketakutan baru pada usia 20-an. Ketakutan itu cenderung unik, dan beberapa orang mengistilahkannya macam-macam.

Aku sama sekali tak hendak menuliskan persoalan itu. Tetapi, di saat bersamaan, usiaku berjalan menuju angka 24 tahun pada detik-detik akhir tahun nanti. Di fase inilah, rupanya apa yang aku takutkan tentang apa saja di sekitarku lahir. Ia menjelma seperti seekor kecoa terbang, yang dengan muka kejam tak berperikemanusiaan, hinggap di pundakku dan seketika aku pukul berkali-kali dengan sandal sampai mati dan berbau tidak sedap.

Aku mungkin mengistilahkannya agak rumit, tapi ayolah, ketakutan yang selama ini menjelma dalam diriku juga begitu. Aku merasa ada hal-hal tak sesuai, yang mestinya bisa kumaklumi sembari membatin “Oh tidak apa-apa, kamu tidak sepenuhnya salah dan seandainya kamu bersikukuh keras kepala, besok kamu dapat mengulanginya lagi dengan lebih baik”, tetapi semua itu tak pernah mudah.

Rentang usia ini menuntunku pada ekspektasi besar dan ideal. Sayangnya, itu tidak dibarengi dengan realisasi yang sama lancarnya. Banyak yang aku temui, adalah hari-hari penuh tekanan. Seperti ketika aku melihat postingan teman di kanal instagramnya. Dengan latar sebuah bangunan di Eropa dan ia kenakan jaket tebal, yang demi apapun aku juga ingin memakainya suatu hari, ia sukses membuatku bertanya-tanya. “Sebenarnya aku hidup di dunia ini untuk apa, dan mengapa aku tak bisa sesukses dia?”.

Saat ini aku telah bekerja di sebuah media kecil yang berskala provinsi. Cukup menyenangkan memang bekerja di sini: dapat berinteraksi dengan bebas dengan gubernur beserta pegawainya, bisa liputan dan menyasar ke pelosok wisata yang bagus, dan tentu dapat mengasah skill negoisasiku dengan orang-orang penting. Tetapi, ketakutan mendera itu cukup ampuh melenyapkan sesuatu yang seharusnya kusyukuri itu.

Narasi-narasi yang cukup banyak kunikmati di artikel menyebutnya sebagai bagian dari quarter life crisis. Alias, bentuk kecemasan yang muncul di rentang usia 20-30 (koreksi: ada juga yang menyebut batas akhir siklus tersebut dalam diri tiap orang berbeda-beda).

Dan berdasarkan dari yang kubaca dari berbagai situs macam Tirto.id atau juga thread di twitter, setiap orang memiliki solusi masing-masing atas masalah tersebut. Ada yang memilih denial sampai akhir, dan tentu saja membuatnya tertekan, dan ada pula yang bertindak dengan “Ah bodo amat, ngikutin arus aja”, yang tak bisa dimungkiri membuatnya tak bisa mengejar cita-cita idealnya.

Tetapi dari situ, aku pikir dengan mau menerima kondisi diri sendiri atau dengan kata lain “self love”, rasa-rasanya apapun pilihan kita akan jadi berarti. Dan ditambah juga dengan membuka kacamata selebar mungkin, serta meminjam istilah Marchella FP, penulis NKCTHI, dalam sebuah video yang bagus di Buka Talks, lebih banyak mendengar, aku rasa kita semua bisa mengurangi kadar ketakutan untuk hal-hal tidak perlu.

Seorang teman bekerja di sebuah bidang pemerintahan di Jakarta. Ia adalah sosok yang baik dan selalu membantu. Ia pernah begitu dekat denganku pada masa-masa susah: percayalah ia menjadi saksi bagaimana aku setiap pagi memasak mie dengan pemanas, dan sungguh masa-masa itu begitu menyedihkan. Ketika ia diterima bekerja di sana, aku berpikir, mengapa hanya aku yang gagal dan tertinggal. Dan betapa aku cukup terkejut setelah beberapa lama bicara, aku juga mengetahui bahwa ia berpikiran sama terhadapku usai melihatku sejauh ini.

Teman yang lain menempuh pendidikan master di sebuah kampus ternama. Aku senang melihatnya sukses, apalagi dengan postingannya di facebook yang memuat banyak pengetahuan. Dan aku rasa, ia adalah representasi ideal bagaimana seharusnya mimpiku berjalan seperti itu (Aku dulu bermimpi di usia 23 tahun telah menempuh kuliah S2 di Inggris).

Tetapi beberapa malam lalu saat kami sama-sama menghadiri pernikahan seorang teman, ia begitu mengejutkanku dengan bercerita tentang apa yang ia cemaskan. Itu kecemasan yang tak pernah dibuat-buat, kurasa. Dalam standar sukses yang aku pikir itu, ia mengungkapkan gelisahnya mengatur keuangan ketika kuliah. Belum lagi tekanan tugas yang membabi buta.

“Sejujurnya aku juga ingin bekerja dan bisa mencari uang untuk kuliah,” katanya.

Mungkin, jika aku cantumkan beberapa cerita orang mengenai topik tersebut, rasa-rasanya kamu begitupun aku akan bosan dan akan lebih banyak meyandarkan punggung ke kursi. Karena, sejatinya cerita seperti itu lazim terjadi dan menimpa siapa saja.

Sebagai orang yang terlahir Jawa, tidak banyak bahasa Jawa yang kumengerti. Tetapi dari yang sedikit tadi, aku mulai mempertimbangkan kosakata “Sawang Sinawang”, alias yang bermakna “bagaimana kita memandang”. Dan kata itu begitu relevan dengan hari-hariku sekarang ini.

Aku menyadari tidak banyak bahasa yang bisa menolong ketakutan seseorang ketika di fase usia 20-an. Karena sekali lagi, tak banyak juga yang memahami secara detail bagaimana kenyataan yang pahit betul-betul dirasakan. Namun, seandainya ada yang meluangkan waktu membaca ini, aku menyarankan, hei cobalah, mungkin ini akan berguna. Cobalah untuk mengenakan kacamata lebih lebar dan berdamai dengan diri sendiri. Sebab, demi masalah apapun yang ada, diri kita begitu berharga dan itulah yang kita punya.


You Might Also Like

2 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images