Pelajaran Dari Masjid

Mei 22, 2018

www.pexels.com

Belakangan saya menyadari ada hal janggal yang justru sering saya lakukan. Hal itu bukan saja membuat hidup ini terasa kering, tetapi juga sama sekali tak bermakna.

Pada awal Ramadan tahun ini, ujian itu datang lagi. Penyebabnya bukan seperti tahun terdahulu di mana masalah finansial menjadi hal utama. Melainkan sebuah sikap yang terang membuat saya bingung. “Kok bisa ya, saya seperti itu?”.

Sebuah chat—pada awalnya—melipir ke laman media sosial saya, whatsapp. Di sana ada seorang teman yang menyodorkan informasi perihal lowongan kerja sebagai wartawan di salah satu lembaga Muhammadiyah. Semua berjalan biasa saja sampai salah seorang teman yang lain nyeletuk, yang kurang lebih bilang, “Eh bukannya gimana, tapi kan itu untuk S1?”.

Saya semakin memahami konteks itu, sebab, saya sendiri memang belum S1. Baru berjuang menuntaskan skripsi yang belakangan ini mulai saya sentuh. Tetapi percayalah, ada cerita panjang yang akan saya urai, nanti. Bukan sekarang.

Baiklah, kembali ke konteks cerita. Nah si teman ini lalu buru-buru meminta maaf dan menyisipkan beberapa kalimat yang terus terang membuat saya sedikit emosi. Kurang lebih ajakannya ialah supaya saya lekas skripsi, dan dari situ akan ada banyak lowongan pekerjaan yang bisa saya masuki. Ini adalah titik yang membuat emosi—tapi percayalah posisikan ini sebagai titik kesalahan saya dalam mencerna konteks.

Yang membuat emosi sebenarnya adalah keharusan saya menerima tawaran itu. Seperti ada ketidaksepakatan saya dalam hal itu, dan celakanya saya buru-buru emosi. Akhirnya grup pun ramai dengan debat. Dengan nyinyir. Dengan sesuatu yang tak bisa saya duga.

*** 

Malam harinya, ketika tarawih berlangsung, seorang teman yang selalu saya repoti akhir-akhir ini—Yusuf Bachtiyar—mengajak untuk menjajal salat tarawih di masjid di lingkungan Muhammadiyah di daerah Menanggal Surabaya. Sebelumnya, pilihan itu bukan gagasan buntu semata. Sebab, pada malam sebelumnya, ketika kami tarawih di salah satu musala di lingkungan kontrakan kami yang menekankan jumlah rakaat sebanyak 23, kami kurang fokus. Salatnya terlalu cepat dan mengusik kekhusukan kami.

Singkat cerita, kami berada di Masjid Al-Fajar. Di sana saya agak sedikit tertegun dengan bangunan mewah masjid, yang rasanya bisa dibandingkan dengan griya-griya perumahaan lainnya. Terdapat AC, karpet hijau tebal, dan beberapa perlengkapan lainnya.

Sampai kemudian ketika imam memulai Salat Isya, saya baru mengetahui ada hal yang berbeda. Hal yang telah bertahun-tahun tak saya jumpai. Yaitu merasakan nuansa khusuknya salat. Pun dipadu dengan ceramah yang rasional, masuk akal, dan memadupadankan konteks religi dengan logika.

Ceramah itu sendiri dilaksanakan seusai prosesi Salat Isya. Waktu itu, Pak Misbahul Huda—begitu saya meneliti pesan yang nampang di banner masjid—didapuk sebagai penceramah. Menurut hasil pencarian saya di internet, beliau memang sosok yang mengagumkan. Lulusan UGM, pernah diminta bekerja cukup lama menemani Dahlan Iskan, hingga memiliki generasi penerus yang luar biasa lagi. Pantas saja ceramahnya cukup membuat hadirin larut dan menikmati suasana.

Ia bercerita tentang beberapa hal yang cukup kurang merasuk dalam pemahaman umat Islam di era sekarang. Yakni, sisi kecerdasan intelektual yang kurang bisa kolaborasi dengan kecerdasan spiritual. Akibatnya apa? Banyak sekali ketimpangan umat dalam mencerna pesan agama. Ada yang kemarin melakukan aksi bom bunuh diri di Surabaya. Ada pula seorang professor lulusan kampus bergengsi di Amerika, justru menjadi pengagum Taat Pribadi (berita selengkapnya bisa dilacak di internet). Kejadian itu, menurut Misbahul Huda bisa terjadi karena ketimpangan dua hal tadi: kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.

Pria yang sewaktu ceramah berlangsung memakai kopyah hitam itu melanjutkan, bahwa sejatinya nilai-nilai kecerdasan intelektual dan kedisplinan telah otomatis menjadi bagian dari kecerdasan spiritual. Hanya saja itu tanpa kita sadari.

Ia berulang kali menyodorkan beberapa fakta di beberapa belahan dunia. Yang pertama, yakni rahasia sukses besar Apple. Steve Jobs, sang pemilik, waktu itu menyandarkan produknya itu pada sebuah thesis: “jika besok adalah hari terakhir saya hidup di dunia, maka saya akan mengerjakan pekerjaan sebaik-baiknya”. Akhirnya karena selalu bersandar pada hal itu—dan belakangan diketahui jika Steve Jobs juga mengidap kanker—maka yang ada, produk apple selalu menjadi nomor satu. Setidaknya untuk urusan kualitas.

Hal itu sebetulnya selaras dengan ajaran Islam, di mana kita dianjurkan untuk mengingat mati, sebagai bekal untuk hidup di akherat. Namun sayang, sampai akhir ternyata Steve Jobs belum juga mendapat hidayah dari Allah swt.

Kedua yakni sebuah riset dari beberapa ilmuwan (mohon maafkan atas ingatan saya yang tidak baik) yang meneliti negara paling islami di dunia. Dari paparan riset itu, yang menduduki peringkat awal justru negara Irlandia, Denmark, Luksemburg, dan Selandia Baru. Bukan negara-negara yang mayoritas memeluk agama Islam seperti Arab, Indonesia, dan sebagainya.

Ini menjadikan bahwa thesis tadi—soal ketidaksesuaiannya antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual—menguat. Dan sepatutnya kita reflesikan bersama agar dalam menunaikan ibadah di dunia, hal-hal itu bisa kita dalami.

*** 

Setelah ceramah usai, bergantilah menuju saat-saat tarawih. Di sini yang membuat saya juga merasa nyaman. Jumlah keseluruhan Tarawih dan Witir yang dilangsungkan ialah sebelas rakaat. Tapi pada setiap dua rakaat, setelah saya amati angka jam di masjid, setidaknya berlangsung sekurang-kurangnya sepuluh menit. Itupun yang dibaca biasanya satu surat panjang, yang dibagi ke rakaat-rakaat lainnya.

Di momen seperti itu, entah dengan kekuatan macam apa, pada setiap rakaat saya justru menangis. Teringat betapa banyak sekali dosa yang saya tabung. Betapa banyak sekali hati manusia yang saya sakiti. Betapa melimpahnya orang-orang yang saya lukai.

Akhirnya setelah berulangkali menyeka air mata, saya kembali terpikirkan perihal kesalahan saya sebelumnya: emosi terhadap beberapa teman karena kesalahan cara pandang saya.

Dengan kekuatan yang tak bisa saya rencanakan, saya minta maaf ke teman-teman di grup itu selepasnya. Dan sejak itu pula, saya semakin berhati-hati. Mana tahu ada ketidakmampuan saya dalam mengelola kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual. Dan dari situ pula, saya berikhtiar untuk bagaimanapun, suatu saat, akan mendatangi masjid itu lagi. Mungkin akan ada banyak air mata lagi yang tumpah. Atau, ah entah. Saya ingin menangis sekeras-kerasnya. (*)

Catatan untuk hari kedua Tarawih Ramadan (17/5) ini baru bisa saya rampungkan sekarang (22/5). 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images