Jawaban Atas Pertanyaan Akademis

Juli 30, 2018

gambar ini diperoleh dari www.pexels.com

Juli 2018 menjadi bulan pamungkas buat saya. Ini sekaligus menjadi bulan yang agung; bulan di mana saya bisa menjawab keluh kesah orang-orang terdekat perihal nasib akademis yang saya tempuh. Benar saja, 19 Juli 2018 saya baru saja merampung sidang skripsi.

Sidang ini awalnya menjadi hal yang amat menakutkan. Dalam kepala saya waktu itu, bayang-bayang pertanyaan mengerikan mengapung dalam kepala. Apa relevansi penelitian Anda terhadap kehidupan masyarakat sehari-hari? Mengapa penelitian Anda menjadi penting? Mengapa hal sepenting skripsi ini masih saja membuat Anda luput mengoreksi grammar yang acak adut? Kira-kira itulah yang saya pikir.

Ternyata, sewaktu saya memasuki ruang sidang, hal-hal demikian itu menjadi bias. Pertanyaan-pertanyaan itu absen dalam benak penguji. Baik penguji 1 sampai 4, semuanya menggunakan jalur cepat. Ringkasnya, mereka memberi pertanyaan yang retoris buat saya, yang terang saja bisa saya jawab. Bahkan, setelah saya hitung proses sidang rasanya tidak sampai memakan waktu 30 menit.

Itu membuat saya tidak puas. Benar-benar tidak puas. Maksud saya bukan bermaksud sombong atau merasa kerjaan saya baik. Tetapi, rasanya ada yang janggal saja. Betatapun saya berpikir, gaji yang selama ini diraup oleh para penguji, tidak sebanding dengan yang mereka kerjakan.

Meski begitu, ini juga menjadi catatan penting buat saya. Bahwa mempersiapkan materi semaksimal mungkin mutlak saya kuasai. Sebab, sewaktu sidang saya merasa tolol, karena sedikit dikerjai oleh penguji. Saya ingat persis bagaimana penguji 3 menanyai saya.

“Farid, apakah numbers (persen) penting buat skripsi kamu?” kata dosen itu sembari mengarahkan saya menjawab tidak, sebab penelitian yang saya ungkap ialah kualitatif.
“Iya pak,” jawab saya.
“Kenapa?”
“Sebab itu bisa menunjang informasi yang terungkap dalam penelitian ini,” jawab saya sekenanya dengan muka cenderung lugu.
“Tetapi pada dasarnya apakah number itu penting?”
“Iya pak. Karena dengan itu informasi menjadi jelas,” papar saya yang membuat penguji tersebut mengakhiri pertanyaannya, dan mengucapkan “Sak karepmu Rid. Ha..ha..ha..”

Saya yang memang begitu terlambat memahami kerjaan saya baru-baru ini, hanya bisa menunduk. Bukan, bukan berarti saya takluk. Tetapi di level ini, saya merasa seperti kerbau yang hanya bisa berkata “iya” dan sukar berdiri dalam prinsip yang jelas.

Ini terang membuat saya berpikir untuk melanjutkan pendidikan S2 saya. Bukan, bukan untuk mengulang ketololan itu. Tetapi ingin membuktikan bahwa saya bisa dan mampu menaklukan dunia akademis—yang betapa sialnya kadung saya percayai marak praktik pragmatism. Saya ingin mewujudkan dunia penelitian yang sesungguhnya. Seperti orang-orang di LIPI, di lembaga penelitian di kampus, atau di manapun itu yang benar-benar melakukan penelitian untuk memberi dampak nyata bagi sekitar.

Apakah saya bisa dan mampu? Entah. Tetapi berita baiknya, saya telah menuliskan itu dalam proyek impian saya. Saya menyebutnya 100 Mimpi Farid.

Lebih dari itu, saya ingin mengucap terima kasih untuk semua pihak. Sebab, pada akhirnya saya melewati fase ini. Fase yang di awal membuat saya bertanya-tanya: apakah lulus dan wisuda itu penting?

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images