Menjawab Pertanyaan

Desember 04, 2017

www.pexels.com

Mungkin, sekali lagi, mungkin ini adalah catatan pembuka dari segala narasi yang akan kubuat. Rasanya memang berat, kering, tak beraturan, bising dan memuakkan, kala semua orang tiba-tiba begitu peduli dengan urusan akademis. Rerata dari mereka bilang bahwa proses—yang harusnya bisa menciptakan intelektual yang mumpuni sekaligus bisa memberi perubahan signifikan bagi bangsa—ini harus segera kuakhiri.

Bagi sebagian, tentu saja, muak karena angka semesterku bertambah. Sembilan. Ya, di angka itu orang perlahan-lahan melihat, menonton, dan memicingkan mata seolah itu angka hina dan patut untuk dibinasakan. Bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai parasit akademis.

“Ya, harusnya segera lulus. Biar dapat kerja. Biar tak melulu menyusahkan orangtua,” ucap salah satu dari mereka suatu hari.

Di samping itu, tak jarang dari orang-orang yang begitu peduli itu, melihat dengan tatapan iba. Aku sendiri lebih menganggap semua itu adalah upaya terbaik yang memang lazim dilakukan orang belakangan ini. Semester sembilan. Duh!

Tetapi tak banyak yang mengerti dan memahami posisi ini. Dan justru yang dilihat ialah “Ayo cepat lulus. Buat apa di kampus terus-terusan”.

Dari survei kecil yang kulakukan kepada orang terdekat, sahabat, teman, dan beberapa keluarga, ternyata dari sebagian besar mereka tidak punya rencana (atau mungkin belum) perihal jenjang apa yang akan mereka giati selepas lulus kuliah. Mereka lebih memilih mengamankan posisi—sebagai sarjana tentunya—lantas kemudian berjudi nasib kepada si pemilik modal, untuk melanggengkan nasib. Sederhananya, mereka tak punya misi yang jelas dan asal melampirkan surat lamaran kepada bagian HRD, supaya diterima kerja di instansi dan di posisi apapun. Yang penting kerja!

Entah mengapa sesuatu yang rasanya menyedihkan melipir di otakku. Aku merasa sesuatu yang terjadi tersebut jauh lebih menyedihkan daripada kenyataan usia akademisku. Memang, pembenaran atas angka semesterku ini tak bisa juga dijadikan satu patokan utama.

Tetapi, mari berpikir: saat seseorang memiliki semangat yang mumpuni dan ia akan berpergian jauh, namun tak tahu mau pergi kemana, kira-kira akan seperti apa nasibnya. Coba bandingkan dengan, orang yang hendak melangkah ke suatu tempat—tetapi ia menepi dahulu dan berpikir agak lama, dan tentu saja membutuhkan waktu yang banyak untuk persiapan—lalu ia beranjak pelan-pelan ke tempat itu, di tempat yang begitu jelas karena ia menggunakan google maps dan persiapan keberanian untuk bertanya di jalan, kira-kira akan lebih bermanfaat yang mana?

Tentu saja masih ada perdebatan dari itu semua. Tetapi, untuk kasus dan hal yang aku alami, jelas aku menyetujui pilihan yang kedua.

Aku paham di posisiku seperti ini. Aku tak pandai. Track recordku tak begitu memuaskan. Dan untuk karir yang aku tuju, rasanya jika aku buru-buru lulus akan sangat mencemaskan.

Aku berpikir, di fase semester sembilan aku bisa menyiapkan segalanya. Memperbanyak tulisan, memperluas jaringan, dan tentu saja memulai menyelesaikan skripsiku. Ya! Aku sepakat dengan nuraniku ingin mengakhiri ini di semester sembilan.

Tetapi, apakah orang-orang itu mengerti? Entahlah.

Semakin kesini, semakin aku merasa hidupku diliputi banyak tanya. Siapakah aku? Untuk apa aku hidup? Bagaimana orang-orang di sekitarku memandangku? Apa kontribusiku pada mereka? Entahlah.

Akhir kata, pertanyaan itu kini kusimpan baik-baik di kepala. Kelak, jika pembuktianku tentang asumsi mereka soal usia kuliahku di semester sembilan ini beres, akan kuurai di laman ini. Semoga masih ada waktu untuk menjawab, dan semoga kebiasan dalam berpikir bisa diurai pelan-pelan.

Surabaya, 4 Desember 2017

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images