Catatan Pulang II

November 18, 2017

Ilustrasi diambil dari: www.pexels.com

Akhirnya aku sampai di daerah Gresik. Sampai di sana jalan yang kulewati diblokade polisi. Aku sempat ketakutan sedikit sebelum akhirnya merasa lega, karena ternyata bukan cuma aku yang diarahkan polisi ke jalur lain. Semua pengendara—baik motor maupun mobil—diarahkan menuju pusat kota Gresik. Kami memutar jauh. Macet dan beberapa kali terpaksa bersabar karena jarak tempuh menuju rumah semakin jauh.

Sembari menghabiskan waktu di atas motor, aku iseng-iseng memeriksa saku jaket. Aku teringat sempat meminjam kacamata dari seorang teman. Kacamata yang beberapa saat kemudian amat kusesali: pertama karena kacamata tersebut ternyata diperuntukan untuk mata minus, kedua karena kacamata itu akhirnya jatuh dan menghilang tak tahu kemana. Aku berniat memakai kacamata itu sebagai pelindung mataku. Apes. Aku kehilangan sesuatu lagi.

Karena mungkin telah terbiasa kehilangan, aku jadi tak terlalu memikirkan hal itu. Aku lebih memikirkan bagaimana bisa sampai ke rumah; melihat keadaan nenek, keadaan ibu dan melihat kondisi terkini bangunan rumahku yang terakhir kali kutinggal pergi ke Surabaya dalam posisi miring hampir rubuh.

Terus terang hal-hal itu yang selalu melintas di kepalaku. Aku bahkan tak memikirkan lagi apa-apa selain itu. Ya misalnya saja, peihal ajakan salah seorang senior untuk menghidupkan kembali komunitas menulis di UINSA, undangan senior yang lain untuk bergiat di dunia riset, deadline tulisan di website www.wolakwalik.com, project desain grafis di www.surabayagraph.com, atau tenggat mengerjakan skripi. Sungguh bukan maksudku menganggap hal-hal itu tidak penting. Tapi memang selalu saja ada perasaan yang mengganjal, yang lebih dari urusan itu, ketika aku dalam perjalanan pulang.

Sesekali dalam perjalanan aku melihat lalu lalang pengendara. Maklum saja, momen aku beranjak pulang ke rumah kali ini bebarengan dengan libur akhir pekan. Wajar saja jika macet di mana-mana. Kadang aku berpikir, bagaimana jadinya jika trotoar bisa berbicara dan mendengar selayaknya manusia? Betapa bisingnya. Betapa ruwetnya. Dan tentu saja betapa akan menjadi bosan, karena di waktu yang sama hal yang sama terulang terus.

Maka kemudian, aku bersyukur trotoar itu tidak hidup sebagaimana manusia. Dengan begitu, ia tak perlu khawatir soal bising, ramai, ruwet dan semacamnya.

Waktu melesat bagai peluru. Tak terasa aku sudah masuk ke area Bojonegoro. Aku dan adikku berembug sedikit soal memberikan “sesuatu” untuk orang di rumah. “Hitung-hitung surprise,” kataku.

Maklum saja, selama bertahun-tahun hidup di Surabaya, saat menjelang ke Bojonegoro rasanya belum pernah aku membawakan sesuatu atau oleh-oleh apapun untuk keluarga, terutama ibu. Bahkan ada kesan bahwa ketika aku pulang ke rumah, ujung-ujungnya adalah minta duit orangtua. Celakanya persepsi begituan pula yang kadung tertanam dalam kepala para tetangga di dekat rumahku.

Namun, syukur tak terkira, di balik keputusanku memilih berada di semester sembilan ini, aku bisa meredam persepsi itu. Aku kini berani membiayai sendiri semua kebutuhanku; baik hidup maupun perkuliahan. Meski tentu saja, aku tetap harus pontang-panting cari pinjaman, mencoba peruntungan menulis di media massa atau sekadar membuat jasa desain grafis. Semua itu kulakukan agar tidak membebani orangtua lagi; terutama ibu.

Sebenarnya aku cukup sadar, ibu cukup mampu membiayaiku. Aku ingat di masa silam, bahkan beliau sampai menggadaikan gelangnya demi bisa memberiku sangu buat naik bis. Semua yang ibu lakukan adalah demi aku, demi adikku, demi kedua anaknya. Tapi karena kupikir aku akan segera lulus kuliah dan benar-benar melewati fase bergantung pada orangtua, aku harus memanfaatkan momen ini. Momen semester sembilan dengan skripsi yang sebenarnya jika kutekuni betul akan beres kurang dari dua minggu.

Aku dan adik berhenti sebentar di warung bakso. Kami iuran sekenanya agar bisa membeli bakso dengan porsi yang banyak. Tentu saja supaya semua anggota keluarga kebagian. Akhirnya setelah selesai membeli bakso kami tancap gas ke rumah. Sesekali kami memandangi sekitaran jalan menuju desa. Tak begitu ramai, tapi entah kenapa selalu terasa tentram untuk dilihat. Mungkin karena iklim pedesaan yang begitu guyub, atau ah entahlah, aku tidak mengerti.

***

Sampai juga kami di rumah. Aku turun dari motor dan mulai masuk mencari ibu. Sementara adikku masih memarkir motor.

Sosok wanita senja terlihat duduk di kursi roda. Ada wanita berusia lima puluhan tengah berusaha mendorong kursi roda itu agar bisa masuk ke rumah. Aku mendekati keduanya. Mereka berdua tersenyum. Aku menyalami kedua wanita yang sangat kukenal itu. Pertama aku menyalami nenek, dan kulanjutkan menyalami ibu lantas mencium kedua pipinya.

Entah dengan perasaan apa aku bisa menggambarkannya, tapi kedua orang itu kupikir sangat bahagia. Aku bisa melihat dari pancaran mata keduanya. Senyum lepas mereka. Ah, untuk sekejab saja rasanya aku ingin menghentikan waktu. Ibu lalu menyuruhku ganti pakaian dan masuk ke dalam. Sementara adikku bergantian melakukan prosesi yang sama seperti apa yang kulakukan tadi.

Sesaat kemudian aku merenung. Keadaan nenek kali ini memang sedikit parah dibanding sebelumnya. Kata ibuku, di suatu sore ketika mau mandi, nenek tiba-tiba terlihat hampir jatuh. Lantas ibu buru-buru lari menangkapnya. Dan benar, saat itu penyakit stroke telah berhasil mengambil kekuatan nenek untuk bisa berjalan normal.

Di usia renta, nenek memang telah akrab dengan beberapa penyakit. Dari stroke, darah tinggi, diabetes hingga beberapa penyakin macam kesemutan dan sebagainya. Tapi kali ini rasanya nenek tidak setegar dulu. Ia bahkan, saat kulihat di waktu senggang, lebih banyak diam dan melamun. Ini mungkin menjadi hal besar yang mengakrabi hari-harinya.

***

Mendengar kabar nenek yang seperti itu, semua anak-anaknya dari paman sampai bibi, hampir setiap saat berkumpul di rumah kami. Sewaktu aku pulang ke rumah saja, ada bibi dari Kediri yang baru saja datang. Alhasil rumah kami sangat ramai. Ini sebenarnya yang agak mengganggu pikiranku. Bayangkan saja, hampir semua orang yang berkunjung ke rumah ramai-ramai menanyaiku kapan bisa wisuda? Bagaimana progress skripsi? Dan lebih-lebih ada yang menanyai lagi, “Sudah punya pasangan belum?”.

Untuk semua pertanyaan itu aku jawab apa adanya. Tentang alasanku yang masih juga belum bisa menuntaskan sarjana, tentang perkembangan skripsi dan lain-lain. Tetapi, untuk pertanyaan soal pasangan, aku lebih banyak menanggapi dengan senyum. Tak mungkin aku ceritakan kepada mereka problematikaku yang sebenarnya perihal pasangan. Haha. Lantas, dengan sikapku yang seperti itu, ada salah satu anggota keluarga yang sampai berani mengungkapkan pernyataan yag terang saja membuatku terpingkal-pingkal dan menggaruk-garuk kepala.

“He, le. Nek sak iki awakmu wis oleh golek calon. Soale wis iso golek duit dewe.”
(He, le. Kalau sekarang kamu sudah boleh mencari calon. Soalnya sudah bisa cari uang sendiri)
“Nek wis oleh, nang digagekne…”
(Kalau sudah dapat, disegerakan saja)

Aku kembali tenggelam dalam senyum. Berkali-kali aku menggaruk kepalaku yang tentu saja sebenarnya tidak gatal. Tapi lebih dari itu, ada kebahagiaan yang menyeruak dalam hati. Bahagia bukan karena “izin” mencari pasangan itu. melainkan karena dapat bercengkrama lepas dengan keluarga di rumah. Suatu hal yang rasanya mustahil dapat kulakukan di Surabaya.

Surabaya, 1 November 2017
Tamat

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images