Segenggam Izin Menuju Semarang

Desember 06, 2017

Potret salah satu gedung legendaris di Semarang, Lawang Sewu.
sumber: http://4.bp.blogspot.com. 

Ruangan yang beraroma obat-obatan itu tampak senyap sebelum kedua orang lelaki mengetuk pintu. Salah satu pengunjung yang sejak tadi tekun memeriksa selang infus, terperanjat. Pengunjung lain yang awalnya tertidur barang sebentar, terbangun. Mereka terkejut, kedua lelaki berkunjung ke ruangan tersebut pukul 23.30 WIB.
***

Rabu, 22 November 2017. Beberapa pesan bertubi-tubi mengapung di layar ponsel. Sebagian di antaranya berupa pesan yang belum terbaca. Sebagian lain berbentuk informasi panggilan tak terjawab. Setelah jeda beberapa menit, barulah saya memberanikan diri membuka pesan itu.

“Kalau kamu tidak sibuk, sebaiknya pulang,” tulis seseorang di seberang. “Nenek kritis,” ia lantas melanjutkan.

Saya bingung tak karuan. Segera saya menghubungi Fauzy, adik kandung saya, untuk pulang. Ia salah seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya. Saat ini, ia sibuk praktikum di laboratorium, serta sesekali ikut mengembangkan website kampus. Hari itu hari yang tak biasa. Setelah telepon dari saya ia angkat, ia buru-buru pamit teman sekelasnya. Ia terpaksa meninggalkan sisa matakuliah yang tengah berlangsung. Lantas, kami sepakat pulang untuk menengok nenek.

Sementara, sebuah kabar menganga di surat elektronik. Isinya saya dinyatakan lolos mengikuti Hoax dan Jurnalisme Damai; Pelatihan Jurnalistik untuk Mahasiswa di Hotel Padanaran Simpanglima Semarang, 25-26, November 2017. Dalam keterangannya, panitia meminta semua peserta yang terpilih—lebih-lebih dari luar Semarang—untuk hadir sehari sebelum acara berlangsung.

Mula-mula saya bimbang. Namun pesan yang memberi tahu jika nenek kritis, tak urung lebih membulatkan tekad saya pulang.

Mizan Asrori, rekan yang juga termasuk peserta yang lolos, berulang kali mengingatkan saya soal kejelasan ikut atau tidak di acara tersebut. Ia tampak bimbang dengan keputusan saya pulang mendadak. Padahal, di hari yang sama, ia telah memesan tiket kereta buat kami berdua.
 “Nggak tahu. Doakan saja bisa.” Ujar saya di suatu waktu menanggapi pertanyaan Mizan.

Dalam kurun waktu sepersekian jam, Fauzy menjemput saya. Kami tidak langsung pulang mengingat hujan begitu deras. Lagipula, tidak mungkin kami pulang saat itu juga, sedang kami tidak memiliki jas hujan.

Setelah hujan terhenti dan berganti menjadi rintik-rintik kecil, kami tancap gas. Sepanjang jalan, macet luar biasa. Sebetulnya itu bukan masalah besar, sebab jalan raya di Surabaya di jam sekira Bakda Isya’ memang kerap padat. Sampai kemudian di Lamongan hujan kembali turun. Kami berteduh di sekitaran alun-alun Lamongan sembari menyicipi Sego Boran.

Waktu semakin malam dan kota Lamongan semakin membasah. Setelah berdiskusi kecil, akhirnya kami meneruskan perjalanan sampai Bojonegoro. Tak dinyana, dari Lamongan sampai Bojonegoro, nyaris tak ada celah buat hujan berhenti. Bahkan sampai di rumah pun, hujan tetap menunaikan tugasnya dengan merintiki Kota Ledre itu.

Saya mendapat kabar, nenek dirujuk ke Rumah Sakit Islam Muhammadiyah Sumberrejo. Kondisinya kian lemah. Tanpa berpikir panjang, kami kesana. Sedang, di sisi lain, jam dinding rumah mengacung ke angka 23.15 WIB.
***

Di teras rumah sakit milik Ormas Muhammadiyah itu, dua lelaki clingak-clinguk. Dicarinya orang-orang yang dikenalnya. Sampai kemudian ia menanyakan pada resepsionis, dan lalu dijawab dengan petunjuk ruangan.

Tiga pria menyungkurkan tubuhnya ke sofa. Mereka kelelahan setelah seharian penuh berganti tugas menjaga nenek. Sementara dua penjaga lain berada di ruangan pasien. Saya dan Fauzi berulang kali mengetuk pintu. Kami baru benar-benar bisa masuk, ketika salah salah satu pengunjung dari ruangan mempersilakan kami.

“Masuk saja. Tidak dikunci,” katanya.

Kami memasuki ruangan pelan-pelan. Namun, usaha itu ternyata tetap saja membuat salah satu pengunjung lainnya bangun. Seketika ia memancarkan senyum dan bercakap-cakap.

Lho, berangkat jam berapa lhe, kok malam-malam gini?” katanya. Sebelum menjawab, saya dan Fauzy saling menatap mata. “Iya bu. Tadi terjebak hujan”, kata saya.

Perbincangan kemudian beralih ke topik perkuliahan. Fauzy ditanyai progress kuliahnya, pun juga saya. Hingga pada suatu kesempatan saya memberanikan diri meminta pertimbangan ibu, soal jadi atau tidaknya saya berangkat ke Semarang. 

“Bu, sebenarnya tanggal 24 saya harus ke Semarang. Saya lolos pelatihan jurnalistik, dan tiket juga sudah kadung saya beli. Menurut ibu, bagaimana?” tanya saya kepada ibu.

Lha berapa lama?,” balas ibu kepada saya. Saya kemudian membalasnya dengan penjelasan bahwa pelatihan itu dilaksanakan dua hari, 25-26 November 2017. Namun sebagai peserta yang berdomisili di luar Semarang, saya harus check in lebih dulu dibanding teman-teman.

Ibu menyimak penjelasan saya saksama. Berulang kali ia diam dan melantunkan senyum. Lantas ia membalas. “Kalau begitu, ya sudah. Berangkat saja. Jangan lupa doakan nenek biar cepat sembuh,” katanya diiringi senyum meneduhkan.

Ruang pasien kembali senyap. Hanya detak jam dan  jantung saya yang seolah terdengar keras. Saya memang tak bisa menyembunyikan raut bingung, senang, sekaligus bercampur aduk. Benar, mungkin ini penanda saya harus istirahat buat persiapan menuju semarang.



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images