Catatan Pulang I

November 04, 2017

foto diambil dari: http://blogs.photopreneur.com

Sebelum akhirnya hilang beberapa hari kemudian, sebuah pesan dari adik mengapung begitu saja di layar ponselku. “Kata ibu, jika memungkinkan dan tidak sedang sibuk, segera pulang,” katanya. Aku berpikir panjang dan bingung dengan situasi itu. Terus terang di musim begini, aku memang berencana tidak pulang dulu untuk waktu yang panjang. Aku mau menyelesaikan aneka persoalanku. 

Aku menghentikan segala hal yang mungkin jika kuceritakan di rumah, kepada ibu, nenek, bapak atau siapapun yang kebetulan di sana, bakal membuat pusing. Aku, terus terang tak ingin kejadian begitu terjadi. Tapi apalah dayaku, jika ibu sendiri telah berkata begitu, aku tidak bisa menolak. Aku pulang di hari Sabtu.

Sebelum pulang, lebih dulu aku mendengar dari adik soal kabar tak baik. Atau mungkin lebih etis jika kusebut sebagai kabar sedih di hari-hari yang paling kelabu. Nenek jatuh ketika hendak mau ke kamar mandi, dan setelah kejadian itu ia tak lagi bisa berjalan. Jleb.

Hari demi hari kulalui dengan selalu memikirkannya. Memikirkan nasib nenek dengan sisa hari tuanya yang mesti dilewati di atas ranjang. Aku berimajinasi dan berkhayal apakah nenek akan betah dengan kondisi itu? Kondisi di mana ia terpaksa mengakrabi sunyi, mengingat masa lalu dan mungkin yang paling pilu meratapi nasibnya yang kini tak bisa berjalan.

Aku dan adik bersepakat pulang di hari Jumat sore. Tentu setelah aku selesai pulang kerja di fotokopi. Dan ketika aku hendak mempersiapkan segalanya, aku pikir-pikir. “Bro, sepertinya kita pulang besok Subuh saja,” kataku kepada adik. Aku memang banyak kegiatan waktu itu. Dari project desain vector wisuda, membenahi tulisan untuk dikirim ke media massa, dan memenuhi panggilan teman yang saat itu juga, secara kebetulan, mengundangku untuk ngopi. Sebenarnya aku agak malas datang, tapi karena ia berujar bahwa apa yang ingin ia bincangkan adalah soal penting, aku pun ngeluyur mendatanginya.

Di sebuah warung kopi yang ramai dan padat, aku bertemu dengannya. Setelah berlama-lama ngobrol, aku memahami pesan penting itu. Ia mengajakku liputan di salah satu acara sebuah agency finance, yang kebetulan pula berlokasi di salah satu hotel tak jauh dari tempatku bermukim. Aku iyakan saja ajakannya, dan setelah perbincangan di warung kopi beres, aku lantas pulang. Kembali menekuni desain vector yang memang sedari awal tak membuatku bergairah untuk mengerjakan. Tapi syukurlah, hasil desain itu jadi. Berita baiknya, itu adalah desain vector pertamaku (yang berwarna) yang kubuat melalui software corel draw.

Hal yang mungkin orang tak tahu ialah, ternyata aku butuh waktu yang cukup lama untuk mendesain. Dari semalaman suntuk yang kuhabiskan, baru sekira Subuh aku bisa menyelesaikan. Belum finishing. Hingga kemudian, hasil itu benar-benar selesai sekira pukul delapan pagi. Aku tak terlalu kaget dengan proses itu, ya lagi-lagi karena memang jam terbangku di bidang desain grafis sangat kurang. Aku akhir-akhir ini cenderung mengakrabi dunia tulisan, terutama genre sastra.

Setelah itu, saat jarum jam menunjuk pukul setengah sebelasan, aku dan seorang kawan beranjak menuju lokasi liputan. Aku melihat banyak orang berpakaian putih-putih kombinasi celana hitam. Ada juga yang memakai batik. Mereka seperti tengah merayakan sesuatu, dan dengan raut yang tak sedikitpun menyiratkan kesedihan.

Terus terang di momen ini aku kikuk dan bingung harus berbuat apa. Maklum, telah lama sekali rasanya aku tak liputan. Terakhir kali, mungkin liputan untuk website Muhammadiyah pusat, saat lebaran lalu. Setelah itu nyaris tak pernah aku melakukan aktivitas yang selalu kubanggakan itu. 

Apalagi, dari si kawan aku mendengar bahwa akan ada banyak wartawan yang hadir dan kupikir semua orang itu adalah pekerja media yang professional. Untuk beberapa saat, aku  dikerubungi perasaan kikuk.

Sesekali kuhabiskan waktu dengan menengok jam di tangan, dan beberapa menit untuk membaca ulang press release. Lagi-lagi aku kurang begitu paham bagaimana teknis acara yang akan berlangsung, dan apa yang harus aku lakukan. Aku ndredeg luar biasa. Beberapa saat kemudian seorang wanita dewasa dengan potongan rambut pendek menghampiriku dan si kawan. Ia mengenalkan dirinya sebagai jurnalis bidang Ekonomi dan Bisnis Harian Surya Surabaya. Aku tambah ndredeg dan minder.

Kami sesekali berbincang sembari menunggu waktu yang tepat buat masuk ke dalam ruangan. Si kawan tadi asyik memotret dengan kamera yang ia bawa sebelum berangkat. Aku diam membisu sembari pura-pura membaca press release lagi. Tak kunjung paham juga maksudnya bagaimana.

Kami pun diizinkan masuk ke ruangan. Setelah beberapa menit duduk di kursi yang disediakan, seorang pemuda dengan badan lebih tambun dari tubuhku datang. Ia berasal dari media online www.beritajatim.com. Tambah ndredeg lagi.

Kegugupanku semakin menjadi saat prosesi wawancara tiba. Ketika semua wartawan mendekatkan ponselnya ke narasumber, dan tentunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan ke narasumber, aku memilih mengambil seutas kertas dan bolpoin. Aku mencatat dengan tekun apa yang diucapkan narasumber (lebih tepatnya kutulis saja apapun yang kulihat). Dan setelah prosesi wawancara beres, ternyata tak banyak yang bisa kutulis. Aku sendiri bingung. Pertama bingung karena nerveous, dan kedua bingung harus berbuat apa.

Untung saja si kawan bilang jika mau membantuku menuliskan hasil liputan hari ini. Aku sedikit lega.

Tak kusangka proses liputan memakan waktu yang cukup lama. Sore hari aku baru bisa menjemput adikku di kontrakannya di daerah Mulyorejo. Aku mengendari beat-ku agak ngebut. Dan celakanya, karena begadang semalaman aku mengantuk, lalu untuk sepersekian detik tertidur. Aku beberapa kali kaget dengan suara klakson kendaraan lain ketika hendak menyalibku. Lagi-lagi tak kusadari aku tertidur sejenak saat nyetir.

Sial betul memang, kebiasaan itu berulang. Dulu kejadian serupa juga terjadi. Saat itu aku dan temanku pulang dari Malang. Tengah malam ketika semua badanku capai sekali, aku mengendarai dengan kecepatan tinggi. Aku tertidur dan baru sadar saat temanku memukul pundakku keras sekali. “Brakk!!!”.

Aku menabrak sebuah mobil yang berhenti mendadak di tengah jalan. Untung beberapa meter sebelum insiden itu, aku sempat mengerem. Tapi tetap saja, tabrakan itu tak terhindarkan.
Akhirnya dengan kondisi rem tangan patah, bagian pelindung kenalpot pengendara motor lain yang pecah dan lututku yang cidera, aku tersadarkan. 

Sejak saat itu temanku jadi tak berani kubonceng. Mungkin ia takut aku tertidur lagi dan membuatnya harus memukul keras pundakku lagi.

Perjalanan melawan kantuk akhirnya selesai juga. Aku sampai di depan kontrakan adikku dan kemudian memintanya untuk menyetir. Dia dengan wajah agak gelisah akhirnya menuruti keinginanku. Setelah ia menyalakan mesin motor dan mengambil alih kemudi, aku kembali tertidur. 

Aku tidur dengan posisi tertikam berbagai kemungkinan. Bagaimana jika orang rumah menanyaiku soal wisuda? Bagaimana jika orang-orang menanyakan perkembangan skripsiku? Bagaimana hasil dari liputan tadi pagi?

Semua hal itu akhirnya tak pernah bisa kujawab dengan pasti. Aku tidur dalam posisi paling mengerikan. Dan kesan dramatis itu semakin menyeruak saat aku terbangun: tiba-tiba di kiri dan kananku banyak sekali mobil besar. Benar saja. Aku telah sampai di daerah Oso Wilangon. Pertanda jarak menuju rumah masih sekitar dua jam setengah lagi. (*)

Bersambung


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images