Plastik dan Upaya Mencintai Lingkungan

Februari 19, 2016


 Oleh: A. Farid Fakih*)

Barang kali tak banyak yang tahu, pada 21 Februari mendatang segera direalisasikan (percobaan) kebijakan plastik berbayar. Setiap mengenakan plastik untuk membungkus bahan belanjaan, pembeli dikenakan tarif Rp. 200 oleh ritel (pemilik toko). Dengan kata lain, konsumen (pembeli) dibebankan biaya tambahan untuk mendapatkan kantong plastik tersebut. Kebijakan itu diambil untuk menekan populasi sampah anorganik yang membludak setiap tahunnya. Sebanyak 22 kota mengaku akan mendukung penuh kebijakan ini. Di antaranya adalah Jakarta, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balik Papan, Banjarmasin, Makassar, Ambon, Papua, Jayapura, Pekanbaru, Banda Aceh, Kendari dan Yogyakarta. Lalu dana hasil penjualan plastik tersebut dialokasikan untuk kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) bekerja sama dengan pemerintah dalam hal pengelolaan sampah.
Persoalan sampah selalu menjadi permasalahan klasik. Salah satu hal yang membuat stigma tersebut selalu berhembus ialah budaya masyarakat yang masih saja membuang sampah di sembarang tempat. Tak heran, jika di musim penghujan dampaknya pun dirasakan oleh berbagai pihak—banjir. Di lain sisi, ketika musim kemarau, masyarakat direpotkan dengan kurangnya pasokan air bersih, akibat kurangnya lahan resapan air. Hal ini dikarenakan sampah yang terhimpun di dalam tanah (an-organik) sulit terurai.
Budaya menggunakan plastik sebagai alas untuk meletakkan sesuatu nampaknya masih sulit untuk diurai. Seolah, jika berbelanja tanpa menggunakan bungkus plastik, tidak afdhal rasanya. Padahal jika ditelisik lebih dalam, sampah plastik merupakan salah satu acaman terbesar bagi kelangsungan lingkungan yang asri. Sebab, tanah membutuhkan jangka waktu yang tidak sedikit untuk mengurai satu saja sampah plastik.
Sehingga tak heran jika Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, menetapkan Surat Edaran (SE) Nomor S.71/Men LHK-II/2015 tentang hari sampah nasional. Makanya dengan program itu diharapkan bisa menekan populasi sampah di negeri ini. Kebijakan plastik berbayar merupakan ironi tersendiri bagi masyarakat. Sebab, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa budaya menggunakan bungkus plastik sebagai media untuk meletakkan barang bawaan sangatlah tinggi. Di sisi lain, kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya juga masih minim. Terutama di kota-kota besar, budaya membuang sampah di sungai menjadi kebiasaan yang dianggap tanpa masalah. Terkadang dengan entengnya seseorang membuang sampah tanpa memerdulikan dampaknya. Mulai dari bungkus permen hingga bungkus plastik dibuang begitu saja. Tanpa beban. Bahkan peraturan tentang di larang membuang sampah di sungai pun hanya dianggap sebagai angin lalu. Tanpa ada sedikitpun niatan untuk mengindahkannya.

Edukasi Lingkungan
Fenomena tersebut, mengisyaratkan bahwa masyarakat masih kurang akan pemahaman mencintai lingkungan. Banyak yang tidak tahu akan bahaya budaya membuang sampah sembarangan, terutama sampah anorganik. Tentunya hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Sebab dengan membiarkan masalah ini begitu saja, bukan tidak mungkin akan memperparah kondisi lingkungan. Perlu adanya perhatian khusus dari berbagai pihak untuk mengatasi hal ini. Misalnya, dengan memberikan edukasi seputar pentingnya menjaga lingkungan di masyarakat.
Selain itu, penanaman kesadaran mencintai lingkungan harus digelorakan mulai dari usia dini. Perlu pendidikan yang mendasar sejak di lingkungan sekolah dasar (SD). Hal itu bisa dimulai, misalnya, dengan senantiasa mengenalkan tentang membuang sampah pada tempatnya. Pun juga dengan memberikan pembelajaran untuk tidak bergantung terhadap penggunaan bungkus plastik, melainkan beralih kepada benda-benda yang terbuat dari bahan yang ramah lingkungan. Disadari atau tidak pembelajaran ini sangat efektif, mengingat di lingkungan dasar, karakter seorang anak mulai terbangun. Sehingga pelajaran bisa diserap dengan baik. Selain itu, kesadaran untuk mencintai lingkungan juga harus digemakan dari tingkat keluarga. Hemat penulis, keluarga sangat menentukan proses seseorang di lingkungan sosial masyarakat. Dengan memberikan contoh kepada anggota keluarga,untuk tidak membuang sampah ketika berkendara, misalnya. Atau dengan mengenalkan pada benda yang bisa dipakai dalam jangka waktu lama.

Sanksi Tegas
Sudah seharusnya pemerintah memberlakukan langkah yang “berani” terhadap pelaku pembuang sampah sembarangan. Disadari atau tidak, bentuk hukuman yang setimpal bagi seseorang yang melanggar cukup efektif diterapkan. Contohlah negara Singapura. Di sana setiap melanggar—membuang sampah sembarangan—diganjar dengan 5.000 dollar singapura, atau setara dengan Rp 50 juta. Sehingga, masyarakat di sana pun akan berfikir dua kali untuk melanggar. Dampaknya, tentu saja, membuat negara Singapura dikenal dengan salah satu negara terbersih di dunia.
Terlepas dari itu semua, komitmen untuk mencintai lingkungan sudah seharusnya mulai kita fikirkan bersama. Dengan langkah serius dan mengampanyekan hidup sehat kepada sekitar, Sebab bukan tidak mungkin, dengan memulai dari langkah yang terkecil membuat perubahan besar tercipta. Semoga.

*) Pecinta Lingkungan, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Solidaritas UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tulisan ini dimuat oleh Harian Koran Duta Masyarakat. Versi yang sedikit berbeda bisa diakses di  http://duta.co/blog/2016/02/18/plastik-dan-upaya-mencintai-lingkungan/



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images