Menerapkan Nilai Shalat

Juni 09, 2015



(Refleksi dari Isra Mikraj)
 
Hampir setiap tahun, di tanggal 27 Rajab tahun Hijriyah, umat Islam di penjuru dunia memperingati peristiwa Isra Mikraj. Fenomena religius yang berkisah tentang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsa hingga Masjidil Haram (Isra) kemudian dilanjutkan menuju Sidrotul Muntaha (Mikraj) tersebut, menjadi pertanda bangkitnya Umat Islam di dunia. Pasalnya, dalam peristiwa tersebut, Nabi SAW diperintahkan agar menunaikan ibadah wajib ke dua dalam Rukun Islam, salat lima waktu. Sebuah nilai spiritual yang wajib bagi mahluk yang menghamba kepada Allah SWT.
Dalam konteks peristiwa tersebut, ada hal yang semestinya perlu digarisbawahi. Terutama mengenai substansi dari perintah Tuhan tersebut, shalat. Sebab, dewasa ini instrumentasi nilai shalat masih jauh panggang dari api. Kebanyakan dari kita, termasuk penulis, sering melakukan ibadah tersebut masih sekadar berupa lafal dan gerakan. Sehingga tak jarang setelah menunaikan ibadah wajib tersebut kita sering abai dan cenderung melakukan hal yang sama (yang seharusnya dilarang) dalam shalat. Sebagai pembanding agumentasi ini, penulis mengajak untuk melihat fenomena yang lazim terjadi di negeri ini. Kasus yang paling mainstream (umum) ialah korupsi dan narkoba.
Sungguh miris mendapati fakta tersebut. Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini, justru menduduki peringkat teratas masalah korupsi dan narkoba. Dalam masalah korupsi misalnya, data dari Transparancy International Indonesia menunjukan bahwa negara Indonesia menduduki peringkat ke 5 negara terkorup dari 146 negara yang diteliti. Tak hanya itu jenis-jenis korupsi pun beragam. Dari sampel yang terkecil, tingkat birokrasi kampung, hingga makro, birokrasi negara. Tentu yang paling membuat kita heran ialah, korupsi pernah menyentuh sisi religiusitas negeri ini. Sebutlah korupsi dana haji. Padahal secara agama, tindakan tersebut bukan hanya dilarang. Namun mempunyai nilai dosa yang amat besar bagi pelaku kejahatan tersebut.
Sementara masalah narkoba, BNN menyatakan di tahun 2011 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 4,2 orang. Dan dalam kurun empat tahun terakhir, telah terungkap 108.107 kasus kejahatan narkoba dengan jumlah tersangka mencapai 134.117 orang. Angka-angka tersebut mengisyaratkan bahwa kita harus benar-benar serius menyikapi hal ini. Tak ada lagi toleransi untuk kejahatan tersebut. Apalagi di tengah gempuran arus globalisasi sangat mungkin angka-angka tersebut bertambah pesat.
Tentu saja, di samping melakukan pembenahan menyeluruh dari sisi peraturan hukum, agaknya kita juga melakukan pembenahan pada diri. Banyak hal yang seharusnya kita sadari dalam menunaikan ibadah shalat. Agar shalat tidak hanya bersoal pada tatanan gerakan dan pelafalan dalam ibadah kepada Tuhan. Lebih dari itu nilai yang terkandung di dalamnya juga bisa terserap dan terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Nilai dalam shalat

“Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.” (Qs. Al-Ankaabut [29]:45). Dari dalil Tuhan tersebut, seharusnya bisa diambil dua nilai penting. Yang pertama ialah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Sudah jamak mafhum disadari bahwa shalat membuat jiwa-jiwa yang kering akan spriritualitas menjadi basah akan nilai-nilai kesakralan. Sebab saat melakukan ibadah shalat manusia menjadi merasa kecil di hadapan-Nya. Tentu saja hal ini membuat muslim menjadi enggan untuk bersikap sombong, riya, dengki maupun sikap tercela lainnya. Juga, atas tindakan ini kita tidak hanya saja mendapatkan pencerahan jiwa dari sendi-sendi spiritualitas namun juga mendapatkan kedekatan (dalam berkomunikasi) kepada Tuhan. Sehingga insan-insan muslim akan lebih tenang dalam menghadapi segala problematika di dunia. Serta tidak mudah goyah dalam menerapkan ajaran yang terkandung dalam shalat. Kedua moralitas yang secara alamiah terbentuk dari pengamalan ibadah shalat. Penerapan nilai-nilai spiritual dalam shalat tentu saja membuat jiwa mendapatkan kebaikan-kebaikan dari sisi nilai ketuhanan. Muslim akan berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan tercela (keji dan munkar). Kejahatan semacam korupsi, narkoba hingga perzinahan bukan mustahil bisa berkurang pesat.
Di samping itu shalat juga mendatangkan kesehatan bagi manusia. Jika gerakan saat menunaikan shalat benar, tubuh akan meresponnya dengan nikmat sehat. Kebugaran jasmani dan rohani pun bisa terbentuk dengan mudah. Kelak orang tidak akan lagi berbondong-bondong pergi ke rumah sakit. Sebab, jika benar dalam melakukan gerakan shalat, bukan mustahil kenikmatan jasmani dan rohani mudah diperoleh. Selain itu dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari pun manusia akan menghadapinya dengan penuh suka cita. Tidak ada beban yang berarti ketika menghadapi sebuah masalah. Sebab kita sudah terlatih untuk melakukan kegiatan yang sehat dan menyenangkan (shalat).
Pelajaran dari Isra Mi’raj ini jika bisa diambil dengan jeli bukan hanya mendatangkan keuntungan dari segi medis. Dari segi rohani pun akan mendapatkan nikmat serupa. Nilai dari peristiwa ini seharusnya bisa diserap secara bijak dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Agar pemaknaan dalam menyikapi peristiwa ini tidak sekadar sebuah simbol seremonial tahunan semata. Namun juga sebagai bentuk upaya diri berbenah dan menjadi insan mulia di mata masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga apa yang dicita-citakan semua pihak bisa tercapai dalam falsafah hidup yang mulia ini. Bukan hanya sekadar cita-cita yang tak pernah terwujud dan terlihat dalam kehidupan sehari-hari.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images