Sebaiknya Tulisan Ini Tidak Dibaca

Mei 18, 2019

www.pexels.com


Ding. Entah mengapa aku ingin mengawali narasi ini dengan kata itu. Aku tidak tahu dan tak mengerti, yang jelas, ia melekat begitu saja dalam kepala. Entah apa yang dimaksud, apakah Ding untuk Dinding? Ding untuk Gading? Ding untuk Pending? Atau... ayolah, mengapa kita menyia-nyiakan waktu untuk membahas masalah aneh ini?

16.12 WIB. Aku melihat butiran angka tersebut di pojok kanan bawah laptop pinjaman yang tengah kunyalakan. Maksudnya sih, aku mau menulis hal-hal istimewa terkait Ramadan atau sesuatu yang memukau. Tapi, sampai kau membaca di paragraf kedua ini, percayalah, aku tidak bisa berpikir secara utuh. Pikiranku penuh dengan makanan, sesal, impian, capaian, uang, bingung, depresi, tekanan mental, hingga hal lain yang lebih baik kusimpan sendiri.

Kau pasti bingung, apa sejatinya arah tulisan ini? Apakah memotivasi? Cinta? Sedih? Kiat mencapai sukses sebelum usia 30 tahun? Tips agar hidup enak disertai kucuran uang tanpa harus menggadaikan keringat? Aha! Kita sama! Sama-sama bingung.

Dan, ya di sela-sela kebingunganku itu, entah mengapa pikiranku tertuju pada persoalan karir di usia menjelang seperempat abad: menjadi akademisi atau praktisi? Menjadi pekerja atau pengusaha?

Aku tidak mau menjerumuskan diri dalam sumur kebodohan dengan membahas mereka bak profesional. Kau mungkin juga menyadarinya, ya aku masih di titik amatir yang hari-harinya dipenuhi pelajaran-pelajaran bermutu, yang tak memerlukan nilai 100, A+, atau levels of dinctition laiknya ijazah master di kampus Inggris.

Hari ini aku belajar sedikit tentang bagaimana bersikap bodo amat. Aku mengenalnya dari buku Marx Manson dengan judul serupa. Bersampul oranye yang diterjemahkan dengan bahasa yang kadang-kadang sulit kuterima. Tapi, ayolah, kenapa kita harus menyibukkan waktu sempurna ini dengan persoalan buku oranye? Hih!

Aku memiliki deadline yang cukup banyak. Entah tulisan atau hal-hal lainnya. Tapi, aku mengalami lingkaran setan yang menyebalkan: tiap kali aku mengatur waktu dan memastikan “Hai Farid, kamu harus selesai pada pukul sekian ya!”, seketika pula aku bakal menundanya. Aku akan membuatnya “terlihat lama”. Dan ya, alasannya klasik sekali, karena aku takut dengan permulaan.

Seringkali yang melipir dalam kepalaku, bagaimana memulai pekerjaan yang sulit ini? Aku harus sempurna. Aku tidak boleh. Aku sebaiknya... Dan begitu terus sampai kemudian tugas itu tak kunjung kusentuh dan menggunung. Berita buruknya: ia menyesakkan dan membikin pikiranku kacau.

Dan... di buku penuh masalah bersampul oranye tadi aku menemukan sesuatu. Sebaiknya aku memulainya dengan perasaan bodo amat. Tanpa peduli. Dan tak harus sempurna juga. Bukankah yang penting dimulai dulu?

Lalu kalau hasilnya jelek bagaimana?

“Hei! Bukankah hidup ini tak semuanya berjalan mutlak. Maksudku, bukankah kau nanti juga akan mengedit tulisanmu? Bukankah ada redaktur—yang mohon maaf sekali harus merasa repot—yang berkenan mengedit?” kata diriku yang lain, yang berusaha menasehati.

Ya itu mungkin. Sesuatu memang berat sampai kita mau menyelesaikannya. Untuk urusan ini, aku telah belajar banyak. Terutama dari teman-teman dengan latar belakang bisnis dan leadership.

Dan... detik jam berangsur menuju 17.19 WIB. Artinya, tidak butuh waktu lama untuk menyaksikan buka puasa tiba. Dan, ya, untuk kamu yang berkenan membaca tulisan ini, maafkan. Mungkin sedari awal pesan ini lupa saya sematkan. Bahwa sebaiknya kamu tidak membaca tulisan ini.

Menuju paruh kedua Mei 2019.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images