Sesal Tanpa Titik

Oktober 11, 2018

www.pexels.com
Oktober berlalu dengan langkah yang kejam. Dengan isyarat terburu-buru meninggalkan September, ia abaikan semuanya: kenangan, pengalaman, air mata, tawa, dan apapun yang dulu pernah nyaman dan hinggap di benak seorang lelaki. Kini lelaki itu tengah menyusuri sisa-sisa ketertinggalan itu. Ia menjelma seperti sebuah padang safana yang luas, yang benar-benar kering tak ada siapa-siapa.

Lelaki itu adalah saya. Seorang manusia yang kurang lebih dua puluh dua tahun lalu terlahir di Bumi Angling Dharma. Hingga tulisan ini ditulis, saya masih tak bisa berhenti bersyukur karena telah dilahirkan dari seorang ibu yang perkasa, yang dari sikap nekadnya dua orang lelaki kampung bisa menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Selain itu, saya juga merasa menyesal tanpa ampun. Sebab, di usia yang terang-terangan menuju tua, toh tak bisa juga belajar dari pengalaman untuk menjadi lebih baik. Huh, payah!

Saat ini juga saya masih sendiri dengan aktivitas yang tidak jelas. Masih mengetik dan membaca beberapa media online, yang dari sana saya berharap sesegera mungkin bisa menerbitkan tulisan. Di samping itu, saya juga mulai kembali mendesain. Semalam saya wujudkan keinginan itu dengan bertukar laptop kepada adik. Saya berharap bisa sesegera mungkin melakukannya dan mendapatkan uang, sebagai biaya hidup.

***
Beberapa bulan yang lalu, seusai wisuda, seorang teman memberikan informasi lowongan pekerjaan sebagai reporter di Tirto.id—sebuah media daring berbasis data. Media tersebut saya ketahui dimiliki Sapto Anggoro, seorang jurnalis senior asal Jombang yang dulu turut membesarkan Detik.com. Bisa bekerja di Tirto.id tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri. Saya tahu juga Tirto.id amat berbeda dengan yang lain, yang fokus utamanya ialah bagaimana menerapkan genre jurnalisme yang komprehensif dan berpatokan terhadap kepentingan publik.

Alasan itulah yang membuat saya senang, juga bahagia andaikata bisa bergabung di Tirto.id. Tetapi, sampai di titik ini saya harus realistis. Saya menolak halus bergabung di media tersebut, sebab, kenyataannya saya masih kalah telak segalanya. Saya belum bisa menulis yang baik. Jangankan soal itu, masalah membaca saja saya masih sangat tertatih (catatan, saya baru membaca dua seri dari Tetralogi Pulau Buru di waktu menjelang lulus kuliah).

Hal itulah yang membuat saya mengurungkan niat itu. Saya ingin belajar lagi lebih baik, dan justru dengan dalih itu kini saya menyesal. Saya menyesal telah menyia-nyiakan kesempatan emas.

Di lain sisi, beberapa rencana yang telah terkonsep semenjak sebelum lulus perlahan menunjukan titik temunya. Titik bukti itu justru menunjukan sebaliknya dari apa yang saya harapkan: terancam gagal. Dan saya kembali harus berpikir dua kali untuk hal itu. Saya harus mengatur segalanya. Tetapi…

***
Saya tak tahu bagaimana mengakhiri tulisan ini. Rasanya berat dan menyebalkan. Saya juga pingin marah, tapi kenapa? Tidak tahu. Lebih baik, saya cukupkan saja sampai titik. Sekian. 

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Disclaimer

Laman blog yang tengah Anda kunjungi ini memuat berbagai pemikiran, pandangan, pengalaman, bahkan perasaan pribadi dari penulis. Segala tindakan tersebut jika dirasa bermasalah disarankan agar dapat diselesaikan secara musyawarah kepada yang bersangkutan.

Flickr Images