Jurnalistik dan Hal-Hal yang Sepele
Oktober 14, 2015
Jurnalistik dan Hal - Hal yang Sepele |
Ketika menuliskan uraian ini saya sedang sadar sepenuhnya. Saya tidak
dalam tekanan apapun, apalagi sebuah ancaman. Hanya saja, saya sedang mengalami
krisis mental—baik keberanian, kepercayaan diri, hingga yang teramat vital;
takut menulis. Saya merasa ada sebuah hal yang rasanya sangat sulit untuk
diuraikan di sini. Namun, sebijak mungkin akan saya upayakan untuk
menuliskannya dengan santun; dengan bahasa yang santai. Namun sebelum itu,
mohon maafkan saya jika uraian ini masih tidak berkenan bagi siapa saja yang
terkait.
Jurnalistik, kita tahu adalah sebuah
magis tersendiri di abad ini. Tampaknya, segala apapun yang terkuak dan menjadi
bagian dari sejarah amatlah layak menjadi bahan bakar sebuah karya jurnalistik.
Meski pada dasarnya, saya tidak tahu persis kapan awalnya dunia jurnalistik
digaungkan. Saya adalah salah satu orang yang begitu mencintai dunia tersebut. Bagi
saya jurnalistik adalah sebuah jiwa yang perlu dicintai keberadaanya, dirawat,
dipopulerkan, digaungkan—tentu saja dengan cara mendendangkan hati untuk
senantiasa menulis. Demi memperjelas dunia tersebut, izinkan saya
menitikberatkan sebuah uraian tersebut pada dunia jurnalistik cetak. Sebab,
dalam keseharian saya sebagai mahasiswa, saya juga masih bergiat dan masih
dianggap aktif di dunia jurnalistik kampus saya, UIN Sunan Ampel Surabaya.
Di dalam dunia pers kampus, lebih
eloknya saya menyebut LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Solidaritas UINSA, saya
diamanahi jabatan sebagai pengampu designer layout pada periode 2014/2015.
Jabatan tersebut, menuntut saya untuk selalu bisa menguasai beberapa hal yang
berada dalam unsur sebuah karya jurnalistik. Misalnya, ketika saya diharuskan
membuat info grafis dari kolom opini, saya diharuskan mengerti betul apa yang
dimaksudkan oleh penulis. Tidak boleh asal serampangan.
Sehingga, saya merasa jabatan saya ini bukanlah hal yang sepele. Lalu, dalam
berbagai hal, rasanya saya merasa tugas seorang layouter lebih penting, atau
setidaknya sejajar dengan tugas pemimpin redaksi. Hal itu saya rasakan betul,
manakala tengah menggarap Koran Beranda (kalau saya tidak salah kutip, edisi
Maret – April 2015).
Pada waktu tersebut, saya sangat
kesulitan dalam memberikan info grafis pada setiap rubriknya. Ada semacam
kejanggalan dari beberapa hal itu; salah satunya saya kehilangan akses
komunikasi kepada sang penulis dari setiap rubriknya, alhasil, hasil
desain perdana saya tersebut kurang
sempurna. Bahkan, terdapat beberapa kesalahan yang teramat vital—seperti
kesalahan peletakan nomor pada halaman lanjutan. Dari ilustrasi gambar pun
demikian, saya sangat kesulitan mendapatkan gambar tersebut dari sang penulis.
Akibatnya, dibutuhkan usaha yang lebih ekstra lagi dalam menggapai ilustrasi
tersebut. Kemudian, hal itu diperlengkap oleh tanggapan dari mayoritas civitas
akademika kampus. Mereka menganggap terjadi degradasi kualitas konten koran,
yang notabene milik Rakyat UINSA.
Berdasarkan, memori pahit tersebut saya
mendapatkan banyak hal yang perlu diperhatikan. Di antaranya: pentingnya
disiplin; menghargai deadline; tidak menyepelekan tulisan hingga komunikasi
yang harus terus dijalankan oleh setiap bidangnya. Mengenai disiplin, saya amat
miris dengan keadaan yang terjadi. Saya tahu, dan sadari betul bahwa ketika
berproses dalam dunia tersebut saya masih teramat awam untuk dikatakan sempurna
mengenai hal kedisplinan. Saya akui, masih terlalu sering molor dalam
pengerjaan tugas tersebut. Namun, kiranya dibutuhkan revitalisasi yang
menyeluruh dalam aspek kedisiplinan. Misal saja, ketika diamanahi untuk
menulis, maka menulis saja. Jangan ada alasan bertele-tele untuk mencoba
menundanya.
Belajar dari yang sudah-sudah, akibat
menunda tenggat waktu tersebut menyebabkan pekerjaan terasa ndadak. Sehingga pekerjaan pun terasa
mengejutkan, dan akibatnya hasilnya tidak pernah maksimal. Lalu, mengenai
deadline, rasanya hampir sama dengan uraian saya tentang kedisiplinan tersebut,
mari menghargainya secara utuh. Menyoal penghargaan atas deadline, saya justru
belajar banyak dari organisasi lain. Tak perlu saya sebutkan namanya, yang
jelas saya rasakan betul aroma kedisiplinan ketika saya tengah bergiat di
dalamnya. Bahkan dalam organisasi yang saya maksud tadi, disiplin bukan melulu
soal menulis pada tenggat waktu deadline, melainkan pada saat membuang sampah
ketika forum sekalipun. Saya hanya membatin, apa jadinya hal tersebut jika
diterapkan pada LPM tercinta. Pastilah, nafas-nafas jurnalistik bisa sempurna
terkuak dalam kampus. Dan pastilah, minim terjadi ketidaksempurnaan pada proses
pengerjaan berlangsung.
Pun juga dalam kepenulisan. Saya kira
masih terdapat beberapa kesalahan yang masih mendasar pada beberapa konten
tulisan. Kurang teraplikasikannya EYD secara masif, menjadi indikasi tersendiri
pada beberapa penulis untuk tidak serta-merta bosan dalam belajar. Butuh
kajian-kajian alternatif yang koherensif, agar bisa mendongkrak kualitas
tulisan tersebut. Akhirnya, kita hanya perlu memulai menerapkan serangkaian
nilai-nilai tersebut di atas. Supaya, dunia jurnalistik di kampus tersemai
kembali dalam mengawal segala peristiwa di kampus tercinta. Bukan justru
menjadi lembaga pers yang ketinggalan berita. (*)
Surabaya, 6 Agustus 2015
0 comments