Jeda Mengayuh Sepeda
November 12, 2019![]() |
www.pexels.com |
Di
bulan sekarang, pada tahun lalu, pasca lulus dari kampus saya memberanikan diri
mengembara pada dunia yang telah saya geluti: jurnalistik. Yang berbeda, saya
bergabung dengan anak media Jawa Pos, sebut saja Radar Bojonegoro. Itu adalah
media yang cukup terkenal di kampung halaman, dan setiap Minggu amat saya nanti
kalau saja ada tulisan yang dimuat. Meski saya harus memberi tahu pada
siapapun, pada akhirnya sebelum menjadi bagian dari wartawan di sana, tulisan
saya tak pernah terbit satupun.
Dengan
memilih bekerja di sana otomatis saya juga mengorbankan alternatif yang juga
saya dalami; saya berencana ikut membangun bisnis dunia desain milik seorang
teman, dan ya itu semua harus pupus saat itu.
Tapi
tak apa, toh bukankah kehidupan banyak mengajari manusia untuk bisa memilih dan
bertanggung jawab?
Setiap
harinya, saya bekerja dengan empat rekan. Dua orang dari kampus di Malang, satu
dari Jogja, dan satu lagi dari Tuban. Tiga orang dari kami adalah lulusan
komunikasi, dan dua di antaranya meliputi saya, adalah pegiat pers mahasiswa
yang tak memiliki latar belakang ilmu komunikasi.
Saya
merasa beruntung bisa belajar bersama. Terutama ketika proses wawancara dengan
narasumber—kau tahu, fase ini yang kadang-kadang membuat saya sebal—yang di
saat yang sama saya dituntut untuk bisa mengendalikan ritme komunikasi. Lebih
dari itu, dari rekan-rekan saya itu, saya melihat kegigihan anak muda dalam
bekerja.
Itu
yang kemudian mengilhami saya untuk menuliskannya di sini.
Setiap
harinya kami dituntut memperoleh berita. Semula satu, dua, tiga, lalu waktu
saya ditugaskan ke Lamongan, menjadi empat. Awak media di sana menyebut istilah
itu sebagai listing. Maksudnya, ringkas berita atau tema berita yang nantinya
akan kami sampaikan pada meja redaktur untuk diputuskan layak muat atau tidak.
Saya
merasa tugas itu biasa saja pada awalnya. Tapi lama-lama terasa sedikit berat
ketika saya menyadari, kemampuan komunikasi saya tidak bagus-bagus amat.
Apalagi di Kota Soto, saya tidak terlalu memiliki jaringan yang bagus, dan yang
ada, seringkali saya mengecewakan mereka, para kolega wartawan (oh, maafkan
saya).
Lalu
saya beranjak pada petualangan berikutnya. Seorang senior di Pers Mahasiswa
dulu, yang kebetulan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi sebuah majalah di
Provinsi Jatim, membutuhkan tenaga baru. Itu terjadi setelah dua wartawan
sebelumnya resign. Yang satu karena pensiun, dan satunya lagi menempuh
pendidikan Magister di Taiwan.
Saya
mengisi kekosongan itu, dan menikmati sekali dunia baru. Mengapa begitu? Sebab di
media ini, saya banyak terlibat untuk membuat naskah-naskah features yang tentu
saja begitu saya sukai. Saya ditugaskan terjun ke beberapa desa untuk mengamati
bagaimana pemerintah desa dapat bekerja optimal, dan lebih dari itu untuk
menyaksikan kehidupan desa yang sesungguhnya.
Awal
mula saya ditugaskan ke Desa Pejambon, Kec. Sumberrejo, Kab. Bojonegoro. Di
sana saya menemui kepala desa dan berbincang kurang lebih dua jam. Saya diajak
melihat kiprah desa, dan diberi tahu bahwa desa tersebut dinobatkan sebagai
desa dengan keterbukaan informasi publik terbaik se provinsi dan nasional.
Sebuah
prestasi yang menyejukkan, sebab dari sependek yang saya ketahui, pemerintahan
di desa acap kali menjelma sebagai lumbung masalah ketimpangan sosial dan
korupsi, terutama oleh penguasa setempat.
Melaju
pada babak berikutnya, pada akhirnya petualangan saya di media ini harus tuntas
di akhir Agustus 2019. Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Umum bilang majalah harus
dijeda oleh beragam alasan. Dan yang paling saya lihat, itu tidak lebih karena terbatasnya
SDM dan gairah para anggota tim mengendur.
Melihat
hal itu, mau tidak mau saya harus melihat petualangan lain. Dan setelah memilih
jeda selama September, di bulan Oktober hingga November, saya mencoba bidang
yang lain: desain grafis. Untunglah sebuah lembaga pendidikan menerima saya
untuk magang di sana. Meski, saya pikir kemungkinan ini juga akan sementara saja.
Lantas
di November ini, saya ingin mengubah 180 derajat lagi zona-zona yang nyaman
saya nikmati. Seperti tahun lalu yang diibaratkan mengayuh sepeda tanpa henti.
Akan sampai manakah nanti?
Sidoarjo,
12 November 2019
0 comments