Ada beragam tema dalam hidup yang mungkin bisa saya tolerir. Entah perkara sosial, pendidikan, mental, sampai urusan remeh-temeh seperti berbuat baik terhadap sesama.
Saya merasa itu semua adalah perkara yang masih bisa saya tunda, dan kira-kira dapat saya kerjakan nanti saja. Meskipun belakangan, mungkin karena umur, saya menjadi kehabisan waktu dan mulai berpikir untuk melaksanakannya saat itu juga.
Walau begitu, sejak dulu, hal yang tak mungkin saya tunda adalah perihal medis dan kesehatan. Kosakata tersebut menjadi tidak relevan untuk saya kerjakan nanti, dan meski dalam kondisi apapun juga, saya akan tetap melaksanakannya seketika.
Di masa-masa saya memasuki Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD), saya mengalami gatal-gatal akut. Sela-sela jari saya tumbuh bentol-bentol, dan tak jarang menelurkan luka. Itu cukup mengganggu sebab, mengeluarkan nanah, berbau agak amis, dan tentu saja terasa gatal bukan main yang sayangnya tak pernah berhenti saya garuk.
Penyakit itu, sialnya, gampang sekali menular. Ia dengan mudah menjalar ke seluruh tubuh: dari tangan, paha, sampai jari-jari kaki. Saya bertahan cukup lama untuk luka itu. Kira-kira, saya banyak terbantu oleh CTM, sebuah obat yang belakangan saya tahu justru dipakai untuk membuat gampang tidur.
Kendati begitu, luka yang kelak membuat empat kuku saya copot ini, sejatinya berhasil dikalahkan oleh Pak Gatot dan Almh. Bu Mamik, sepasang suami istri yang bekerja sebagai dokter puskesmas di desa kami. Pak Gatot masih bekerja sampai sekarang, dan Bu Mamik telah mangkat ke haribaan-Nya beberapa waktu lalu akibat kanker.
Dalam waktu-waktu tertentu, ibu kerap membawa saya dan adik-kami berdua sama-sama mengidap gatal-gatal-ke puskesmas. Dan itu, terjadi setiap satu minggu sekali.
Pernah suatu hari saya dijemput bapak waktu masih dalam proses belajar. Seingat saya, saya ngambek karena malu. Bayangkan, di saat guru menerangkan salah satu bab, saya dijemput untuk dibawa ke puskesmas untuk berobat. Ya, meski begitu, saya bersyukur kawan-kawan saya satu persatu menyemangati.
Saya tak pernah tahu berapa uang yang telah habis untuk berobat di masa itu. Namun, dari bayangan, sepertinya itu bukanlah uang yang sedikit. Ya meskipun di puskesmas desa yang bisa saja harganya lebih murah dibanding berobat di rumah sakit atau dokter umum, tapi intensitas yang rutin itu membuat saya sejenak merenung: ah iya, mungkin memang banyak juga ya!
Saya akhirnya sembuh pada suatu hari. Konsekuensi logis dari penyembuhan itu adalah, saya menjadi gendut. Kedua pipi saya tembam. Perut saya sedikit menggelambir, dan berat badan saya naik.
Banyak orang yang menduga saya sering minum susu. Imbasnya, tetangga sering bilang “Kamu kok bisa gendut begitu. Susunya cocok ya?”.
**
Tidak pernah tebersit dalam hidup saya akan menduduki jabatan tertinggi di tataran organisasi mahasiswa. Soalnya, dari dulu saya gemar bekerja dan bersembunyi di balik layar, yang tentu saja begitu kontradiktif dengan apa yang saya jalani sebagai ketua: harus tampil di muka untuk mengatur, mengorganisir, sampai menjalankan roda organisasi sebaik mungkin.
Mula-mula saya menyikapi pencapaian itu dengan hal yang kurang menyenangkan: saya demam untuk beberapa waktu setelah dinyatakan terpilih sebagai ketua. Lalu setelah sekian lama, saya terbiasa dan lambat laun kian menghadapi orang-orang banyak dengan sikap biasa pula.
Kawan-kawan saya di kampus, yang sebenarnya mayoritas adalah adik tingkat, mungkin ingat betul bahwa di awal memberi sambutan, saya lebih banyak gemetar, terbata-bata, dan mengeluarkan keringat. Saya merasa rikuh menghadapi sorot mata orang-orang yang selalu saja terkesan tajam. Entah, rasanya seperti ribuan peluru yang menghujam tubuh saya.
Mungkin karena terbiasa, lambat laun saya merasa “penyakit kronis” saya itu hilang. Dan saya malah menikmati euforia tampil di muka dengan bahagia.
Tapi kebiasaan saya itu nampaknya belum sempurna betul. Di beberapa titik, saya masih mengalami perubahan dan goncangan besar dalam diri, yang entah mungkin itu penyakit atau memang kesalahan pada siklus tubuh, membuat saya gampang mengantuk dan capai. Itu lebih-lebih ketika saya tengah dihadapkan pada keputusan penting dan tak bisa berpikir, bersikap berani, dan tegas.
Pada pertengahan 2016 menjelang malam, kami mengadakan rapat di sepetak rumah yang berhasil kami sewa dan jadikan sekretariat. Saya lupa persis tengah membahas apa. Yang jelas, waktu itu banyak kawan hadir dan saya diminta memimpin rapat.
Sewaktu tengah diskusi, mendadak saya merasa lelah banget. Kepala saya berat dan saya benar-benar tak bisa berpikir. Lalu saya meminta waktu buat istirahat sejenak, dan sialnya, tertidur!
Saya terbangun di waktu rapat bubar. Seorang senior, seingat saya, mengatai saya dengan kalimat “halah cemen. Baru gitu saja sudah tidur!”.
Rutinitas itu awalnya membuat saya malu. Tapi lama-lama justru kian mengganggu, bahkan sampai sekarang.
Saat bekerja di sebuah media 2019 lalu, tak jarang ketika pulang dari kantor, saya langsung tidur. Itu rentan terjadi ketika di siang hari saat saya bekerja, saya mengalami overthinking parah dan membuat saya deg-degan, cemas, dan memaksa saya izin ke toilet buat cuci muka.
Sampai saat ini di medio April 2020, perasaan itu tak kunjung sirna. Saya sesekali masih mengalami rasa capai luar biasa. Kadang, bahkan tiba-tiba mengantuk ketika waktu salat Isya telah berlalu.
Dan kali ini saya tengah memeriksa kemungkinan kesalahan itu, dengan mengetik kata kunci di google: “Mengatasi rasa kantuk dan capai tiba-tiba”. Dan sebuah artikel dari beberapa media menerangkannya pada beberapa babak.
Laman alodokter mengatakan gejala depresi menjadi salah satu penyebabnya. Ia menyebut, kecenderungan seseorang merasa cemas, hilang gairah hidup, bisa membuat seseorang rentan merasa ngantuk.
Berikutnya adalah narkolepsi, yaitu gangguan sistem saraf yang mengganggu aktivitas tidur. Pendek kata, ia berupa ketidakmampuan manusia menahan rasa kantuk teramat dalam. Dan sialnya bisa terjadi di manapun dan tak mengenal waktu.
Dan terakhir adalah parasomnia, yaitu prilaku tak normal yang dialami manusia ketika tidur. Ya singkatnya seperti ketika mengalami fase tidur sambil bicara, berjalan dan sebagainya. Kita dituntun untuk melakukan sesuatu tanpa sadar.
Setelah melakukan self diagnosed, mungkin saya mengidap yang kedua. Tetapi masih terlalu prematur jika saya menetapkan diagnosa itu tanpa dasar uji klinis atau secara ilmiah.
Tapi artikel di laman tersebut buru-buru menyertakan disclaimer: bahwa jika gangguan tidur masih berlangsung, agar saya tak ragu untuk menghubungi dokter. Ya, dan saya bisa membayangkan biayanya. Aih, mungkin banyak sekali. (*)
Bojonegoro, 4 Juni 2020