Sarjana Sastra dan Segenap Cerita yang Mengikutinya
Oktober 09, 2018www.pexels.com |
Gelar sarjana akhirnya benar-benar saya tempuh. Meski meleset
dari perkiraan awal dimana saya berpikir akan memperoleh Sarjana Humaniora
a.k.a S. Hum, tetapi tak mengurangi rasa syukur saya atas dua hal: pertama saya
bisa menyenangkan ibu yang berulang kali berujar ingin memiliki anak seorang
sarjana, dan kedua saya mendapatkan titel Sarjana Sastra a.k.a S.S—sebuah hal
yang tak bisa diperoleh oleh teman-teman saya yang lulus tepat waktu, hahaha.
Soal perubahan itu saya sendiri tak tahu persis. Yang jelas,
saat yudisium berlangsung, para dosen dan orang-orang akademik menyebut nama
kami dengan akhiran Sarjana Sastra. Sebuah gelar yang tentu saja membuat saya
bangga sekaligus agak wagu. Ya, karena di jurusan sastra, saya justru mengambil
bahasa.
Oh ya, dalam perjalanan tersebut, berulang kali saya juga
merasa sepi dan sendirian. Karena saya hanya ditemani Fadhil, seorang teman
yang juga molor kuliah. Sedang teman-teman yang lain tengah khusuk dengan karir
baru mereka.
Tetapi, seperti dalam beberapa kesempatan ketika berbincang
kepada teman, saya tak menyesal dengan keputusan menunda kelulusan. Saya justru
merasa lebih kuat dan yakin dengan jalan ini. Meski sekali lagi, keputusan itu
menuai konsekuensi tidak sepenuhnya mendapat sambutan hangat dari orang-orang
yang melihat.
Oh ya, saya mungkin belum bercerita kepada para pembaca
sekalian. Saya lulus telat satu tahun, alias dua semester. Alasannya sebenarnya
simple. Di semester delapan, saya sebenarnya telah menyelesaikan bab empat. Tetapi,
karena saya pikir jika cepat lulus membuat saya akan selalu bergantung kepada
orangtua dan tak kunjung mandiri, saya kemudian berinisiatif untuk menunda
lulus sampai semester sembilan. Selain itu juga, saya termasuk lumayan sibuk di
Lembaga Pers Mahasiswa (baca: LPM): mengurusi adik-adik tingkat yang lumayan
gokil, sampai mengikuti berbagai event yang berkenaan jurnalistik.
Oh ya, di samping itu saya juga berikrar kepada ibu bahwa
selepas semester delapan, saya akan membayar sendiri uang kuliah. Entah bagaimanapun
caranya. Dan saya bisa.
Tetapi, sampai akhir semester sembilan skripsi saya tak
kunjung tersentuh. Baru di titik akhir menjelang batas akhir peyetoran naskah
skripsi, saya ada waktu. Namun sayangnya, sebuah masalah muncul. Saya menghilangkan
STNK seseorang yang rumahnya di Banyuwangi. Masalah ini benar-benar menguras otak
saya, sebab, saya mesti mencari uang untuk menambal keteledoran saya itu.
Sebuah keajaiban akhirnya muncul. Saya mendapat kesempatan
untuk menjadi volunteer dalam acara PR Indonesia Awards 2018 di Surabaya. Saya bekerja
selama tiga hari, dan dari sana saya mendapat tambahan dana untuk membayar
pembuatan STNK tadi. Selain itu, saya juga bekerja di beberapa hal lain yang pada
akhirnya cukup untuk mengganti pembuatan STNK.
Singkat cerita, saya bisa membayar. Namun saya harus menunda
lulus lagi. Inilah yang kemudian terjadi: saya diwisuda akhir Agustus 2018
bersama adik-adik tingkat dan mendapatkan apa yang selama ini tak dapat digapai
teman-teman kelas yang lulus tepat waktu: Sarjana Sastra, wkwk.
PS. Mohon maaf tulisan ini kacau, sebab saya baru saja
memulai menulis lagi dan langsung mempublishnya tanpa edit. Lain waktu, saya
janji akan lebih baik.
0 comments